Pagi-pagi sekali para santri mulai masuk ke kelas mereka masing-masing. Seperti biasa, meski tinggal di asrama atau di lingkungan pesantren. Akan ada beberapa santri yang terlambat.
Salah satunya dan selalu menjadi satu-satunya ialah santri putra bernama Malik. Dan kali ini, ia tidak sendiri. Ada Fatah bersamanya yang bahkan masih belum memperbaiki baju seragamnya.
"Malik. Kamu lagi!"
Ustadz Ali yang bertugas sebagai guru olahraga sekaligus pengatur kedisiplinan itu berdiri dengan rotan di tangannya.
"Dan kamu juga Fatah. Kenapa kalian terlambat?!"
Fatah dan Malik saling pandang. Lengan mereka pun sundul-sundulan. Berdiri dengan posisi istirahat di tempat.
"A-anu, Ustadz ... sa-saya ...." Fatah tergagap. Ia tidak tahu harus mengatakan tentang apa.
"Saya apa?!"
"Sa-saya tadi terlambat mandi, Ustadz. K-kamar mandi di asrama penuh."
Sang ustadz pun mengangguk, menerima alasan Fatah. Lalu melirik ke arah Malik.
"Dan kamu kenapa Malik? Jangan bilang alasan kalian sama. Karena kamu tidak tinggal di asrama."
"Maaf, Ustadz. Saya enggak punya alasan."
"Kamu ini. Mau jadi apa kamu setelah besar nanti? Kemarin saat saya masuk kelas, kamu melompat keluar lewat jendela. Kamu tahu kan, kalau hal tersebut sangat tidak beradab terhadap guru?"
Tidak ada tanggapan yang Malik berikan. Remaja itu diam-diam bae seperti biasa.
"Dan sekarang, saya tidak akan membiarkan kalian lagi."
Kedua remaja itu mendongak menatap sang ustadz. Menunggu apa hukuman yang akan mereka terima.
"Kalian berdua, lari keliling lapangan lima puluh kali. Dan khusus Malik, setelah pelajaran nanti, kamu harus melakukan bakti sosial. Bersihkan lapangan santri putra dan putri. Sekarang!"
"Baik, Ustadz."
Tanpa menunggu lama, Fatah dan Malik pun segera berlari keliling lapangan. Beberapa santri yang masih menunggu guru mereka, melihat pemandangan itu.
"Hem. Dia lagi."
"Tidak bisakah Malik sedikit mencontoh sikapmu, Daf?"
Remaja yang dipanggil Daf - Daffa oleh temannya itu melirikkan pandangannya.
"Kita berbeda, jadi jangan sama kan."
"Tapi kalian kan tinggal di lingkungan yang sama. Tapi kenapa Malik malah selalu saja seperti itu?"
Daffa mengangkat bahunya tidak mengerti. Ia tidak ingin ikut campur dengan urusan teman sekelasnya itu.
Sementara di seberang sana. Dibalik tembok, tepatnya di gedung santri putri. Mereka bisa melihat Malik dan Fatah yang sedang lari keliling lapangan melalui lantai dua dan tiga.
Amani yang kelasnya berada di lantai dua dan duduk di samping jendela itu tanpa sengaja melirik ke arah Malik.
'Dia dihukum? Benar-benar pantes. Nakal sih.'
Sedangkan teman-teman santri putri yang lain tetap memuji ketampanan Malik. Tanpa melihat sisi buruknya.
"Subhanallah. Dia ganteng banget sih."
"Iya. Kak Malik udah kayak oppa-oppa."
"Aku jadi pengen cepat-cepat besar dan menikah sama dia."
"Ih, enggak mungkin juga Kak Malik mau sama kita. Palingan dia hanya akan suka dengan gadis seperti Aqila. Kita mah lewat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Santri
Teen FictionBertemu lagi dengan musuh bebuyutan sejak kecil saat masuk di pesantren? Oh tidak!! Tapi sungguh, gadis cantik, manja, dan bar-bar bernama lengkap Thahirah Amani Taqiyuddin itu sama sekali tidak bisa menolak keputusan sang abati untuk pindah ke pesa...