"Hei-"
"Malik!" Suara Zahra mengintrupsi anaknya. Menahannya agar tidak mengeluarkan kata-kata yang mungkin saja akan menyakiti calon mantu idamannya itu.
Terlebih saat mendengar perdebatan mereka juga penjelasan singkat Kayla di dalam tadi, ia mengambil kesimpulan jika Malik memang telah melakukan itu tapi tidak mau mengakui.
Pantasan saja semalam anaknya pulang terlambat hingga jam satu malam bersama teman-nya. Ia kira Malik pergi menghafal di masjid dan mungkin saja sibuk dengan itu. Tapi ternyata, bisa dibilang secara kasar, anaknya malah pergi mengintili seorang gadis.
"Minta maaf sama Amani, Nak."
Malik memalingkan wajah. Sedang Amani berdiri dengan perasaan tidak menentu. Ia tidak menyangka jika pertengkarannya dengan Malik akan didengar oleh perempuan paruh baya itu.
Ia benar-benar bodoh. Tentu saja akan kedengaran, karena mereka bertengkar di depan rumah.
"Malik ...," panggil Zahra lagi.
Namun Malik yang tidak mau dan malu mengakui perbuatannya itu, memilih pergi dari sana tanpa menghiraukan ucapan sang umi untuk pertama kalinya.
"Malik! Kembali kamu anak sholeh!" teriak Zahra menyeru putranya. Yang meski sedang marah tetap menggunakan kata-kata yang penuh doa.
Malik tidak peduli. Ia melangkah meninggalkan rumah dan berjalan menuju masjid.
"Mal-"
"Tidak apa-apa, Tante." Amani menyela, tidak enak hati. "Aku enggak apa-apa kok. Jadi biarkan saja dia."
Zahra menghela napas. Lalu menarik Amani dalam pelukannya. "Kamu pasti kesusahan gara-gara Malik ya, Nak? Maafkan dia ya. Dia sebenaranya memiliki maksud yang baik. Hanya saja caranya yang salah."
Hanya anggukan kepala yang Amani berikan sebagai tanggapan. Ia menerima pelukan dari perempuan yang masih nampak cantik itu dan membalasnya dengan hangat.
Kayla keluar dari dalam rumah setelah keadaan mulai membaik. Meski di tengah-tengah cerita terjadi keguncangan karena Malik yang tidak mau mengakui juga tidak ingin meminta maaf. Tapi setidaknya, semuanya terlihat baik-baik saja.
**
Di jalan menuju masjid, Malik terus menghela napas. Ia masih kesal pada Amani yang berani menyebut dirinya sebagai seorang pengecut.
Jika dipikir-pikir lagi, ia memang pengecut yang sama sekali tidak berani mengakui perbuatannya.
"Malik!" panggil Ustadz Ali menghentikkan langkah remaja itu. Ia menoleh ke arah sumber suara.
"Iya, Ustadz?"
"Sini!" Ustadz Ali melambai ke arah Malik dan memintanya untuk mendekat.
Pria yang sudah berumur hampir 40 tahun itu tengah duduk sendirian di bawah pohon dengan beberapa cemilan di sampingnya.
"Assalamu'alaikum. Ada apa, Ustadz?" tanya Malik tatkala telah berada tepat di hadapan sang Ustadz.
"Wa'alaikumussalam. Ayo duduk. Temani saya makan. Ini enak dan menyegarkan di siang hari sepanas ini."
Sejenak Malik memandangi ustadz Ali. Namun kemudian memilih untuk ikut duduk dan memakan cemilan bersamanya.
"Kamu mau ke mana?"
"Ke Masjid, Ustadz."
"Tidak ada orang di Masjid. Karena ini waktu siang. Dan semua orang sedang beristirahat. Kenapa kamu tidak melakukan hal yang sama?"
Malik tidak menjawab, dia malah sibuk menyantap cemilan di tangannya. Seakan itu Amani yang ingin ia gigit dan robek-robek.
"Semalam Fatah tidur di rumahmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Santri
Teen FictionBertemu lagi dengan musuh bebuyutan sejak kecil saat masuk di pesantren? Oh tidak!! Tapi sungguh, gadis cantik, manja, dan bar-bar bernama lengkap Thahirah Amani Taqiyuddin itu sama sekali tidak bisa menolak keputusan sang abati untuk pindah ke pesa...