02

738 19 0
                                    

"Kamu benar-benar parah, Am. Kasihan tahu Abang Malik!" protes Akram seraya berjalan keluar dari ruangan kepala sekolah setelah mendaftarkan nama mereka.

Dan di dalam sana, mereka meninggalkan Malik yang sedang menelan paksa untaian nasihat dari Abi Hafidz.

"Biarin aja. Dia emang pantas mendapatkannya." Amani menyahut tidak peduli. Baginya, ini pembalasan awal untuk Malik yang telah tega membunuh semut-semut peliharaannya. "Kamu enggak perlu ngebelain pembunuh itu terus."

"Tap-"

"Jangan terus menyebutku sebagai pembunuh jika kamu masih sayang pada nyawamu, Nona sombong!" pangkas Malik yang kini tengah berdiri di samping Amani. Tatapannya tajam menyorot gadis remaja 14 tahun itu.

Amani meneguk salivanya kasar. Ingin membalas tatapan tajam Malik, namun ia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.

Bukan karena tidak mampu.

Melainkan karena sang Abati dan Umma seringkali mengingatkan dirinya untuk menjaga pandangan dari menatap lawan jenis.

"Kenapa diam? Sudah mulai sadar diri akan kesalahanmu?" Malik kian mendekat dan kini jaraknya dengan Amani hanya tiga sampai empat centimeter saja. "Atau ... kamu takut terjatuh pada pesonaku sampai-sampai tidak berani menatapku?" tantangnya seraya menyeringai licik.

Akram yang ada di sana hanya bisa menyaksikan apa yang akan terjadi. Ia tidak ingin ikut campur dalam masalah keduanya.

Masalah sederhana yang entah sejak kapan malah dibuat rumit oleh keduanya. Lebih tepatnya, Amani yang lebih dulu memulai perang di antara mereka.

Tapi satu keyakinan Akram, bahwa Malik tidak akan menyentuh saudarinya. Perempuan yang bukan mahram pria itu.

Hal tersebut merupakan pembelajaran dasar dalam bab thaharah yang seringkali keluarga mereka ingatkan.

"Siapa takut?!" balas Amani berani meski tubuhnya gemetar sembari mengambil langkah mundur agar tidak bersentuhan dengan Malik.

"Heh!" Malik mendengus kasar. "Untungnya kamu perempuan. Kalau enggak-"

"Kalau enggak apa!?" sahutnya sengit. Akram benar-benar sesak napas melihat kedua orang itu.Mereka baru saja tiba hari ini, tapi kedua orang itu sudah mulai menabuh genderang perang. "Kamu takut sama aku?"

Malik menyeringai, melihat Amani dengan tatapan mengejek. "Mau gimanapun kamu memprovokasiku. Aku tidak akan melawanmu secara fisik. Kalau kamu berani, kita tanding secara fair dalam hal yang lain."

"Tanding apa?" Amani mengernyitkan keningnya begitupun dengan Akram.

"Kita tanding siapa yang akan mendapatkan juara di tiap perlombaan yang di adakan oleh pesantren. Hasil akhirnya, ada pada ujian semester nanti. Siapa di antara kita yang mendapatkan nilai tertinggi. Baik dalam mata pelajaran, ekskul, maupun yang lain. Gimana? Kamu setuju, kan?" tawar Malik dengan seringai khasnya.

Akram melirik ke arah dua orang itu secara bergantian. Berulang kali menghela napas. Ia sampai duduk di tangga depan kantor kepala sekolah sampai kedua orang itu selesai berbincang.

"Oke! Aku setuju!" sahut Amani menampilkan senyum devilnya. Gadis remaja berhijab itu benar-benar terlihat sangat menawan. "Lalu, apa yang akan aku dapat jika menang?"

"Kamu merasa dirimu akan menang?"

"Kenapa tidak? Aku yakin, aku pasti akan menang."

"Baiklah. Aku akui kepercayaan dirimu itu." Malik mengangguk-angguk pelan sembari berpikir. Dan tidak lama setelahnya, ia tersenyum karena mendapatkan ide. "Kalau kamu menang, maka aku akan meminta maaf padamu di acara kelulusanku nanti."

Bad SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang