Malik dan Zahra bergegas pergi ke penjara menggunakan taksi setelah berpamitan dengan semua keluarga Hafidz termasuk Nenek.
Mereka juga berencana akan langsung kembali ke rumah mereka sendiri yang telah mereka tinggalkan. Jadi kemungkinan akan cukup lama waktu yang mereka butuhkan untuk kembali ke tempat itu. Tergantung keputusannya bersama sang suami juga Malik nanti.
Kendati demikian, Malik tidak pernah lupa janjinya untuk balik hari ini juga ke pesantren dan menemui Amani.
"Sayang, Umi bangga sekali padamu. Umi tidak sangka jika kamu akan mendapatkan nilai tertinggi di akhir sekolah mu ini."
"Alhamdulillah Umi. Ini semua berkat karunia Allah. Dan tentunya juga, dorongan dari Umi dan Amani."
"Hem? Amani?" Zahra mengerutkan keningnya tidak mengerti. Satu alisnya terangkat dengan tatapan penuh tanya. "Apa kaitannya dengan Amani, Nak?"
Malik pun menceritakan semuanya pada sang Umi. Zahra mendengarkannya dengan seksama seraya tersenyum karena-nya.
Ternyata hubungan keduanya bisa saling mempengaruhi secara positif satu sama lain. Meski diawali dengan pertarungan sengit. Tapi setidaknya, akhir ceritanya menjadi baik.
Tadi saat selesai pengumuman kelulusan dan nilai tertinggi kelas tiga. Disusul pula dengan pengumuman nilai kelas satu dan dua. Yang sayangnya, Amani menempati nilai tertinggi kedua setelah Malik. Meski di antara teman-teman satu sekolahnya, ia yang lebih tinggi. Bahkan mampu menyingkirkan nama Aqila yang selalu mendapatkan nilai tertinggi tiap tahunnya.
"Umi merasa senang jika kalian dekat. Dan harapan Umi, ke depannya kalian akan baik-baik saja."
"U-umi. Apa yang Umi katakan!?" elak Malik dengan wajah yang memerah sangat malu. Ia bahkan sama sekali tidak bisa mengangkat kepalanya dan menatap Zahra. "K-kami tidak memiliki hubungan apapun."
"Hahhaha." Zahra tertawa puas dengan suara tenang mendengar pernyataan anaknya yang nampak malu-malu kucing itu. "Enggak perlu mengelak lagi. Umi sudah tahu kok kamu menyukainya."
"Umi berbicara aneh. Tidak ada hal seperti itu di antara kami."
Zahra tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangan dan mengusap lembut kepala anaknya. "Umi hanya ingin kamu tahu, bahwa apapun yang kamu inginkan, Umi sama Abi akan selalu dukung. Tapi, jangan menyentuh anak orang sembarangan sebelum halal ya, Nak."
"Umi! Aku tidak akan begitu!"
Hahahah. Zahra kembali tertawa dan membawa anak kesayangannya itu dalam pelukannya. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan suaminya dan menceritakan segala hal yang telah terjadi selama ini. Terutama bagaimana anaknya berjuang mendapatkan nilai tertinggi dan terbaik untuk membanggakan mereka.
"Umi ...."
"Ya, Sayang?"
"Bagaimana dengan sekolahku? Apakah aku akan tetap melanjutkanya di Madrasah PIA?"
"..." Sejenak Zahra terdiam. Ia mengurai pelukan dengan sang anak dan menatapnya penuh kasih. "Untuk ini, kita perlu pendapat Abi ya, Sayang. Jadi insyaa Allah kita lihat nanti saja."
"... Baik, Umi."
Setelah itu, Malik diam dan menutup mata. Tidak mengatakan apapun lagi.
**
Di sisi lain, Amani sedang bersiap-siap untuk liburan semester akhir. Kali ini ia akan berlibur di rumah kakek dan neneknya dari pihak Abati. Karena juga, kedua orang tuanya akan berlibur di sana nanti.
Amani sibuk prepare sembari memurajaah hafalannya. Dan aktivitasnya terhenti sejenak tatkala suara seseorang yang tengah mengetuk pintu kamarnya terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Santri
Teen FictionBertemu lagi dengan musuh bebuyutan sejak kecil saat masuk di pesantren? Oh tidak!! Tapi sungguh, gadis cantik, manja, dan bar-bar bernama lengkap Thahirah Amani Taqiyuddin itu sama sekali tidak bisa menolak keputusan sang abati untuk pindah ke pesa...