09

337 7 0
                                    

"Kamu Malik, kan?" tanya Adnan dengan ekspresi datar yang sama sekali tidak dapat ditebak.

Ekspresi itu mirip sekali ketika Amani menatapnya penuh permusuhan.

"I-iya, benar."

"Kenapa kamu gugup? Saya tidak akan memakanmu."

'Aku lebih menyukai memakan istriku daripada kamu.' Adnan melanjutkannya dalam hati.

Malik meneguk saliva-nya kasar. Ia hanya bisa menunduk. Jika saja ini bukan ayahnya Amani, mana mungkin ia merasakan aura aneh. Ia bahkan pernah berhadapan langsung dengan beberapa preman yang mengincar dirinya. Tapi ia tidak merasa gugup atau takut sama sekali.

"Ada apa anda ingin berbicara dengan saya?" Malik balik bertanya. Kali ini dengan nada yang tenang. Meski dalam hatinya sangat gugup.

"Saya ingin memperingatkan kamu. Jangan mengganggu anak saya. Saya kesal setiap kali melihat kamu. Karena nama kamu seringkali anak saya sebut sebagai lelaki yang tidak dia sukai dan benci."

Mendengar itu, telinga Malik mendadak memerah. Ia malu sendiri ketika ayah dari Amani berkata demikian padanya.

Itu artinya, Amani selalu menyebut-nyebut namanya, bukan?

Entah kenapa, ini benar-benar sesuatu yang menyenangkan. Tidak masalah jika dirinya dijadikan sebagai objek yang dibenci.

Tapi bukankah rasa benci berbarengan dengan cinta dan suka?

"Jangan berpikir anak saya menyukai kamu, ya. Dia masih kecil dan polos untuk mengenali perasaan itu."

Ah, benar. Amani memang seperti itu.

Dia terlalu polos dan tidak peka.

"Jadi saya harap, kamu jangan pernah mencoba mendekati dan mengganggunya selama di sini. Paham?"

Tidak ada tanggapan yang Malik berikan. Ia sibuk berspekulasi sendiri dan memikirkan banyak hal dalam kepalanya itu.

Sampai lupa jika Adnan masih di sana dan sedang menunggu jawaban darinya.

"Hei! Kamu paham tidak!?" Adnan menaikkan suaranya satu oktaf, menarik atensi Malik yang langsung menganggukkan kapalanya.

"Saya paham."

"Bagus. Awas ya kamu. Jangan sampai saya dengar kabar kamu mencoba mendekati anak saya. Jika tidak, saya kebiri kamu!" ancam Adnan dengan tegas. Membuat Malik beberapa kali menelan saliva secara kasar. "Ya sudah, sana lanjutkan kegiatanmu."

"Baik, Abi Amani."

"Eii, jangan sebut nama anak saya juga."

"Ah, i-iya. Maksudnya Abi Akram."

"Bagus. Sana pergi."

Untuk ke sekian kalinya Malik mengangguk patuh dan segera kembali masuk ke dalam lingkaran atau halaqah penyetoran hafalannya.

Sementara Adnan langsung beranjak pulang menuju rumah mertuanya seorang diri. Karena Akram akan mengikuti kegiatan penyetoran itu juga.

**

Saat masuk di lingkaran halaqah penyetoran, Malik langsung dikerubungi pertanyaan oleh Fatah yang kepo-nya maksimal.

"Malik, om-om tampan tadi siapa?"

"Kok dia ngajak kamu bicara dan bukan aku?"

"Apa yang dia katakan padamu?"

"Apakah dia--"

"Dia Abatinya Akram!" sela Malik ketus. Dengan mata yang kembali fokus pada mushaf di tangannya.

"Hah? Berarti bapaknya Amani juga dong?"

Bad SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang