Hah hah hah
Napas Malik memburu. Ia menancap gas dengan cepat. Sang Ibu yang ada di belakang memeluknya erat--takut terjatuh.
Untung saja tidak lama setelahnya, mereka tiba di depan gedung kantor polisi. Beberapa orang yang mengejar mau tidak mau harus kembali karena takut ketahuan.
Malik menghentikkan motornya di area parkir. Menurunkan sang ibu di sana.
Zahra menghela napas lega. Wajahnya terasa kaku karena angin kencang yang menerpanya. Ia memancang Malik dengan tajam.
"Malik! Kamu mau bunuh, Umi?!"
"Maaf, Umi. Aku enggak sengaja."
"Kamu tuh ya!"
Sebuah cubitan ringan mendarat di pinggang Malik. Membuat remaja berumur 15 tahun itu pura-pura memekik kencang.
"Awww! Umi! Sakit! Maaf Umi, maaf."
Kepala Zahra menggeleng-geleng melihat kelakuan sang anak.
"Kamu bikin Umi jantungan tahu enggak. Kalau Umi tiba-tiba mati di tempat sebelum bertemu Abi kamu gimana? Mau kamu jadi anak yatim!?"
"Enggak mau." Malik merengek memeluk sang ibu. "Umi enggak boleh ninggalin aku sama Abi. Nanti akan terjadi kerusakan di muka bumi."
"Ha ha ha." Zahra tertawa lebar. "Memangnya kalian apa?"
"Pembunuh."
"Astagfirullah." Zahra geleng-geleng. Mengurai peluk dengan Malik. "Sekarang sebaiknya kita masuk. Abi-mu pasti udah tunggu lama. Ini pertemuan terakhir kita sampai dia bisa keluar dari sini."
Malik menganggukkan kepalanya. Memberi jalan untuk Zahra melangkah lebih dulu. Sementara ia melirik ke arah belakang mengamati situasi.
'Alhamdulillah, aman,' batinnya, lalu mengikuti langkah sang ibu.
Di dalam sana, Zahra berpelukan erat dengan Rifky--sang suami atau abi dari Malik.
Keduanya sedang melepas rindu setelah beberapa bulan tidak bertemu. Dan ini pertemuan akhir sampai waktunya ia dibebaskan beberapa bulan lagi.
Meski jarak, ruang dan waktu memisahkan mereka. Namun keduanya tetap saja terlihat romantis sama seperti saat masa-masa bahagia dulu.
"Bagaimana kabar, Hubby?"
"Alhamdulillah, Sayang. Aku baik. Kamu dan Malik sehat-sehat saja, kan?"
"Iya. Sangat sehat. Aku merindukan, Hubby."
Lagi-lagi keduanya berpelukan. Malik yang melihat itu terharu. Ia berharap kedua orang tuanya akan kembali berkumpul dan bahagia bersama.
Rifky mengangkat kepala, menatap ke arah anaknya. Ia mengurai peluk dengan Zahra, lalu memanggil Malik.
"Sini anak Abi."
Dengan mata yang berkaca-kaca, Malik mendekat dan memeluk pria itu dengan hangat tanpa mengatakan apapun.
Tangan Rifky terulur, mengusap punggung juga rambut anaknya.
"Anak Abi semakin besar, ya. Abi bangga karena kamu tumbuh dengan baik meskipun tanpa kehadiran Abi di sisi kamu. Abi minta maaf, ya. Semua salah Abi. Sehingga terpaksa harus jauh dari kalian dan membiarkan kalian hanya tinggal berdua."
Mendengar itu, Malik semakin erat memeluk Rifky. "Semua manusia pasti pernah berbuat kesalahan Abi. Tapi yang terbaik dari mereka adalah yang bertaubat. Bukankah Rasulullah telah bersabda demikian?"
Rifky mengangguk cepat. Membenarkan anaknya. Ia tidak menyangka jika Malik telah sebesar ini. Bahkan begitu dewasa menanggapi apa yang terjadi pada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Santri
Fiksi RemajaBertemu lagi dengan musuh bebuyutan sejak kecil saat masuk di pesantren? Oh tidak!! Tapi sungguh, gadis cantik, manja, dan bar-bar bernama lengkap Thahirah Amani Taqiyuddin itu sama sekali tidak bisa menolak keputusan sang abati untuk pindah ke pesa...