09 | Pintu Masa Lalu

148 28 17
                                    

Siang masih terang. Matahari masih menunjukkan eksistensinya meskipun agak redup karena tertutup mendung. Sebuah cafe minimalis bergaya estetik menjadi tempat singgah untuk sekedar numpang duduk dan minum satu cup milkshake. Ditemani alunan musik klasik yang terdengar tenang, suasana ini sebenarnya terlalu canggung untuk ukuran Sandi.

Well, ia juga baru tau eksistensi cafe ini. Maklum biasa nongkrong di angkringan, itu pun keseringan depan kampus dan sekitarnya. Agak jarang ia ke arah timur jakarta, kalau tidak ke rumah Hansen.

"Kamu pacarnya?"

"B-bukan, bang! Suwer!" pemuda jangkung berkacamata itu menunjukkan dua jarinya sebagai gestur pelengkap.

"Masa? Kok gugup gitu?"

"Serius, bang. Saya cuma mantannya temen Kinan yang kebetulan satu kos sama dia." Sandi menatap Bara penuh harap agar laki-laki yang menatapnya penuh intimidasi itu percaya, "habisnya tatapan abang kayak mau makan orang, gimana saya nggak gugup?"

"Banyak tanya banget, Bar. Udah kayak reporter aja." celetuk Kinan yang baru saja datang dari parkiran. Langsung mengambil tempat di samping Sandi, "lagian urusan kamu apa? Mau aku sama Sandi pacaran atau sekedar teman hs juga nggak ada hubungannya sama kamu."

"Hush!" Sandi menyenggol lengan Kinan, "nggak, bang. Mulutnya Kinan emang serampangan. Saya cowok baik-baik kok." koreksinya.

"Bercanda, dek. Kinan adik saya, jadi saya harus tau mana yang pas buat dia yang mana."

"Pala lo, njir." cibir Kinan, "nggak usah sok akrab. Sejak kapan juga kita jadi kakak adek?"

"Sejak nama kita tertulis di satu KK. Aku nomor tiga, kamu empat, Arumi lima. Kita udah sah sebagai keluarga."

Kinan berdecih malas sembari memutar mata, "Bangga banget kah jadi abangku, sampai di omongin terus?"

"Nggak juga. Ngapain bangga punya adik berandalan kayak kamu? Pas SMK sering jadi langganan BK, pulang-pulang sering babak belur. Mending pinter."

"Iya deh, si paling teladan. Yang nggak pernah masuk BK, lolos SNMPTN di univ nomor dua se-Indonesia, cumlaudenya teknik informatika, sekarang kerja juga mulus, kebanggan papa lagi. Aku yang cuma remahan pendidikan bisa apa? Mau iri pun nggak pantes."

"Iya dong. Walaupun nggak jenius dari lahir, yang namanya hasil nggak akan mengkhianati usaha. Kamu di beliin buku aja dibuang, ya maklum."

Bara dan Kinan, sepasang saudara tiri yang rasanya kurang afdol kalau tidak adu mulut. Dari dulu hingga sekarang tidak ada yang berubah, saling serang fakta yang nyelekit. Kadang kalau di rumah, Arumi hanya akan duduk sembari makan coklat menonton keduanya.

"Jadi gitu, dek." Bara mengalihkan atensinya pada Sandi, "sorry ya, kalau kamu sering direpotin sama dia, apalagi dianiaya. Sorry aja kalau mulutnya kadang suka nyakitin. Nih anak emang udah ketempelan dari SMK dulu."

Sandi meringis. Kasihan Bara, nggak tau saja kalau ia dan Kinan sekarang sama-sama ketempelan.

"Haha, santai, bang. Kinan nggak separah itu kok."

"Gue mah parah mulu dimata dia, San." Kinan menyedot milkshake miliknya, "aduh, pengen kencing." kemudian berdiri. Menggeletakkan ponsel dan dompetnya di meja. Lalu tanpa izin berlalu begitu saja.

Menatap punggung Kinan yang menjauh, lalu hilang di belokan dinding, Bara bersidekap di atas meja, mencondongkan badannya ke arah Sandi hingga yang lebih muda kaget. Menatap serius,

"Kamu serius bukan pacarnya Kinan?"

Sandi menggeleng tegas sekali lagi.

"Pacarnya siapa?"

Orbit | Kim ChaewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang