Cw: pembicaraan agak 18+
Perkara Janu, jujur saja Kinan nggak menyangka akan berurusan dengan laki-laki itu lagi setelah ia lari sekian jauh. Pergi dari kota kecil tempatnya tinggal, menelusup di sela-sela rapatnya metropolitan demi menenggelamkan diri dari atensi orang-orang masa lalu yang pernah mengenalnya. Mengibarkan bendera perang dengan ayah, kemudian hidup layaknya gelandangan di kota orang. Ya meskipun kata-kata itu sebenarnya terlalu lebay.
Sedari belia Kinan memang tak pernah lagi dimanja. Apalagi sejak orang tuanya memutuskan untuk pisah dan saling pergi dengan orang baru pilihan mereka. Jarang mendapat perhatian kadang membuatnya haus akan atensi.
"Enak nggak?" tanya Fabian yang masih setia berdiri di samping meja makan. Layaknya seorang emak yang mengawasi anaknya makan.
Kinan mengangguk, "Enak dong orang tinggal makan."
"Yaudah, habisin kalau enak." Fabian menepuk pelan puncak kepala Kinan dan segera mengambil piringnya sendiri.
Kinan hampir keselek, tapi ditahan, harus jaga image.
"Pilih-pilih makanan terus! Makan brokoli nggak bikin mati kali." Eri mengomentari cara makan Darin.
Darin yang makan di seberang Eri mendengus, "Salahin Fabian! Gue nggak suka brokoli masih aja dikasih." protesnya seraya menyisihkan sayuran hijau putih itu di pinggir piring.
"Maaf ya, Eri yang minta." jawab Fabian seraya mendekat ke Darin, menggeser piring perempuan itu kemudian memilih brokoli untuk dipindahkan ke piringnya.
Kinan yang melihat hanya memilih menjadi penonton. Fabian ini attractive banget. Apalagi akhir-akhir ini yang kalau dipikir-pikir sikapnya perlahan berubah ke arah positif. Dari dulu juga positif sih, tapi yang ini nggak kaku dan keras seperti biasa.
Selain word of affirmation, Fabian juga sering phsycal touch. Dan sekarang lihat, act of service banget. Walaupun bukan ke dia. Cemburu? Enggak. Toh, ini memang yang seharusnya.
Eri yang melihat memutar mata malas. Fabian itu ibarat bapak dan Darin anaknya. Jangan sampai kegores apalagi terluka. Ia melirik Kinan yang terlihat tenang. Lantas mendekat, "Habis ini gitaran yuk!"
Kinan menengok, "Lo punya gitar?"
"Punya dia." Eri menunjuk abangnya, "kemarin beli padahal nggak bisa main."
Darin terlihat melirik sinis. Membuat Kinan tak enak hati. Aduh, pasti perempuan itu cemburu karena ia nempel sama Fabian semenjak datang.
Ikut Fabian. Kinan kira akan diajak ke kampus untuk nungguin dia laprak atau minimal nungguin kelas di depan teknik. Tapi ternyata malah di ajak ke rumah. Yang ternyata di rumah tadi ada Darin dan Eri sedang tanding game.
Ya nggak apa-apa sih, orang dia yang numpang waktu. Tapi jadi canggung soalnya Darin kelihatan cemburu banget. Persahabatan ini yang dulu sering Fabian sering bilang biasa aja. Ini mah lebih-lebih dia sama Sandi.
Soalnya Kinan dan Darin sebelumnya nggak pernah berurusan apapun, tiba-tiba gadis itu mengubah sikap tanpa alasan. Jadi, Kinan simpulkan begitu.
"Gitarannya di luar aja ya?" pinta Kinan. Ia putuskan untuk main aja sama Eri.
"Nggak ada gitar-gitaran." interupsi Fabian, "barang gue bukan buat dipinjam pinjam."
"Pelit lo." sembur Eri.
"Nggak usah ngelawan kalau dibilangin. Cuci piring sana!"
"Gue aja yang nyuci." sela Kinan seraya berdiri dan meraih piring kotor. Berusaha tau diri di rumah orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orbit | Kim Chaewon
Fanfiction"Dirgantara tanpa kamu, ibarat ruang kosong tanpa cahaya" Kalimat itu adalah sebuah omong kosong bagi Kinan. Apalagi yang berucap adalah seorang Fabian Dirgantara, orang yang katanya masih mendeklarasikan diri sebagai pacarnya meskipun kata putus su...