14 : Aku Mau Kamu Tau

160 35 3
                                    

"Itu lukisan mau dikemanain?"

"Dibuang dong. Gudangnya udah nggak muat, tuh komputer papa yang rusak mau masuk nggak bisa."

"Taruh kamar abang aja. Jangan dibuang, itu punya bang Zul."

"Tapi udah nggak kepake, bang. Menuhin tempat doang loh ini."

"Biarin. Kan yang penuh kamar abang."

"Halah, lukisan mangkrak juga buat apa? Toh, kamu sekarang di teknik bukan di seni. Mainannya kabel bukan canvas."

"Ya tuhan, ma! Nggak usah dibahas lagi dong!"

Suara rusuh itu terdengar jelas sampai ruang tengah. Padahal asalnya dari arah belakang. Tepatnya di sebuah ruangan dekat dapur yang tadi Fabian tunjukkan, gudang. Tadi Kinan sempat kesana, menyapa orangtua Fabian yang kebetulan lagi bersih-bersih. Kemudian papa Bian mengajaknya untuk duduk di ruang tengah saat adu bacot seperti yang terdengar itu dimulai.

"Kinan satu angkatan sama abang?"

Yang ditanya sontak menengok. Melempar wajah tanya pada kepala keluarga Dirgantara.

"Maksud saya sama Fabian."

Kinan mengangguk, "Iya, om"

"Oh, teknik juga?"

"Saya pendidikan ekonomi, om. Nggak kuat belajar kalkulus hehe."

"Asik, nanti jadi guru dong? Atau mau switch?"

"Switch kayaknya, om. Tapi kalau rezekinya nanti di guru ya nggak apa-apa. Ikut berperan memajukan kesejahteraan bangsa lewat pendidikan."

"Bener sih. Tapi jadi guru di Indonesia itu harus panggilan jiwa loh. Apalagi kalau dinasnya nanti di daerah 3T. Yang penting berkah."

"Jangankan daerah 3T, om. Pinggiran Cibinong dan sekitarnya aja begitu. Saya dulu pernah ikut volunteer di semester dua sebagai pengabdi pendidikan di sebuah SMP. Tenaga pendidiknya banyak yang sukwan, gaji satu bulan nggak lebih dari 300 ribu."

"Ya gimana ya? Dari sekian triliun dana negara, yang turun ke kemendikbud cuma sekitar 20%. Paling banyak dipakai kemenhan. Kalau mau jadi guru sih mending sekolah profesi dulu, biar punya sertifikasi. Jadi honorer itu kurang sejahtera kalau dari segi ekonomi."

Kinan sangat membenarkan perkataan om Dirgantara ini. Cerita tentang case yang sama juga ia dapatkan dari seniornya yang sudah berkecimpung di dunia guru. 

Gadis itu baru akan menjawab lagi untuk melanjutkan diskusi sebelum suara ricuh terdengar mendekat. Terlihat Fabian yang datang dari arah belakang. Tangannya penuh dengan beberapa lukisan yang sudah usang. Diapit diantara kedua lengannya. Berjalan lurus diiringi ocehan mamanya. Tanpa menengok laki-laki itu naik ke lantai dua, mungkin menuju kamarnya.

Jadi, setelah pulang dari toko kue tadi, Bian mengajaknya mampir ke rumah. Laki-laki itu bilang mau mandi dulu sekalian ganti baju. Padahal Kinan sudah bersikeras nggak usah ikut masuk rumah, badannya bau keringat, tapi dipaksa dan malah dikenalkan sama orang tuanya yang kebetulan sedang di rumah.

"Ribut apalagi sih, ma?" si bapak Dirgantara bertanya pada sang istri yang masih setia ngoceh meski langkah Fabian sudah hilang dibalik tikungan tangga atas, "maaf ya, Kinan. Fabian kalau di rumah memang sering berantem sama mamanya. Apalagi soal lukisan. Udah, rumah rame cuma karena dua mulut doang."

Yang ditanya tak menjawab, hanya melengos lelu kembali ke belakang. 

"Bian suka melukis, om?" tanya Kinan. Sekelebat tadi ia melihat sebuah lukisan yang menurutnya bagus banget.

Si kepala keluarga tampak berpikir sejenak, "Kayaknya suka meskipun lebih suka memelototi rumus fisika. Dulu pernah mau ambil seni rupa tapi ada suatu keadaan yang pernah memaksanya untuk mundur. Ah, itu cuma sebuah luka. Nggak usah diceritain lah ya."

Orbit | Kim ChaewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang