"Haha orang egois kayak dia mana bisa ngerti?" kekeh Arumi pahit.
Ini adalah pagi di hari kedua event, saat Bian menjemput Kinan pukul enam pagi. Niatnya hanya menunggu perempuan itu di depan gerbang kos aja. Sebelum akhirnya dipersilahkan Arumi untuk nungguin di teras karena kebetulan mereka bertemu di depan gerbang. Arumi juga baru kembali dari luar, katanya habis jogging. Terlihat dari kakinya yang pakai sepatu meskipun masih pakai baju tidur.
Iseng, Fabian bertanya tentang perang dingin yang kata Lia masih berjalan sampai saat ini.
Kalau Kinan tipe orang yang mikir-mikir kalau mau cerita, Arumi adalah tipe manusia yang langsung gacor jika dipancing.
"Dia mah mana nganggap gue saudara, bang?" perempuan bersurai panjang itu memandang lurus pada gerbang. Entah apa yang jadi fokusnya, "tujuan gue pindah kos cuma mau akrab, cuma pengen kita jadi dekat layaknya kakak adik. Gue udah pdkt sama dia semenjak datang ke sini. Bantuin dia bersih-bersih, bantuin dia masak dan berusaha jadi teman ceritanya meskipun akhirnya gagal. Ya gue tau itu sepele dan nggak cukup instead apa yang dia alami di keluarga gara-gara gue. Tapi ternyata dia nggak bisa menghargai usaha orang."
"Arumiㅡ"
"Gue tau lo bakal belain dia. Mbak Kinan emang kayak musuh kalau di rumah, tapi di rantau dia backingannya banyak. Lo, Mas Sandi, Kak Lia, Kak Hanin dan mungkin masih banyak. Kenapa? Pendapat gue salah ya?"
"Nggak gitu, Rum." Bian menyela, "kita semua teman. Kita nggak ada hak buat jadi pembela siapapun untuk urusan internal keluarga. Tapi gue minta, tolong jangan mikir kayak gitu ya? Kinan nggak egois. Dia cuma belum terbiasa. Orang yang biasa memendam semuanya sendirian, pasti butuh waktu buat membuka diri. Bukan cuma lo kok, gue juga. Tanya Lia, tanya Sandi, Hanin, tau apa mereka? Kita semua nggak ada yang kenal Kinan sebegitunya. Jadi berhenti merasa kalau Kinan nggak menghargai usaha lo."
Perempuan itu menunduk. Terlihat menghela nafas, "Bohong. Tatapan dia ke gue nggak berubah dari dulu, bang. Tetep sinis, judes kalau ngomong ketus."
"Tapi dia perhatian?" tanya Bian sambil tertawa kecil, "dia marahin lo pergi sama cowok pulang larut, dia marahin Lia karena mau ngajak lo keluar larut, itu dia sayang sama lo."
Iya sih. Arumi juga tau, tapi menolak fakta aja karena dia merasa tertolak oleh Kinan. Harusnya dia paham dari dulu Kinan nggak pernah memberinya perhatian secara gamblang alias denial. Gengsinya kan setinggi harapan orang tua.
Tapi tetap saja Arumi mau validasi.
"Arumi, lagian kenapa lo harus pindah kos?" tanya Bian, "hidup kalian udah sejahtera dengan jalan masing-masing dengan nggak saling ketemu. Lo sendiri yang datang nyamperin Kinan, sekarang merasa Kinan paling jahat disini? Lucu."
Pertanyaan laki-laki teknik elektro itu serasa mencopot jantung Arumi. Perempuan itu langsung bungkam. Hatinya berdenyut sakit. Membawanya kembali pada kenyataan bahwa banyak hal yang harus ia tuntaskan.
"Ada hal yang harus gue selesaikan, bang. Biar kalau mati sewaktu-waktu gue nggak nyesel."
Alis Fabian terangkat. Bertanya tanpa kata.
"Masuk dalam keluarga mbak Kinan disaat rumah tangga mama papanya carut-marut itu cukup membuat gue merasa bersalah. Meskipun saat itu gue cuma ngikutin kemauan orang dewasa. Ada saat dimana ayahnya ngasih gue sama mas gue support habis-habisan, sedangkan dia enggak. Gue selalu ditanya tentang prospek masa depan, mau sekolah dimana, mau ambil studi apa, kalau jauh dari rumah mau kos yang gimana, mau dibeliin mobil atau motor aja, bahkan ayah repot-repot nganterin gue ke ibukota saat jadi maba. Tapi dia enggak, dia malah dituntut untuk ngetreat gue sebaik mungkin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Orbit | Kim Chaewon
Fanfiction"Dirgantara tanpa kamu, ibarat ruang kosong tanpa cahaya" Kalimat itu adalah sebuah omong kosong bagi Kinan. Apalagi yang berucap adalah seorang Fabian Dirgantara, orang yang katanya masih mendeklarasikan diri sebagai pacarnya meskipun kata putus su...