Dari obrolan soal psikolog bersama Bara, sebenarnya Bian sudah menduga kalau Kinan akan menolak keras. Iyalah, apa yang diharapkan dari orang yang gengsinya setinggi gunung semeru? Denialnya minta ampun.
Dan sekarang beneran terjadi. Tiga hari perempuan itu ngilang dari jangkauannya. Disamperin ke rumah pasti belum pulang, dicari ke kos nggak ada, ditunggu di FKIP nggak ketemu, ke sekretariat UKM juga nggak ada. Ngambeknya jelek. Nanya Sandi juga sama aja, dia kan anteknya Kinan. Tanya anak kos apalagi, kemarin bahkan hampir dijambak Lia gara-gara anak itu mengira dia membuang sahabatnya. Untung ditahan Hanin.
Bahkan kata Bara di rumah aja mereka musuhan. Nggak ada part berantem mesra, adanya berantem beneran.
Tapi kali ini Bian beneran bertekad nungguin Kinan pulang. Mumpung lapraknya lagi tipis. Ia harus ketemu perempuan itu hari ini.
"Mas, adikmu jam segini belum pulang mbok ya dicari!" ayah uring-uringan.
Bara yang duduk di samping Bian sambil ngemil kacang hanya menjawab lempeng, "Masih jam sembilan lebih. Ntar juga pulang. Kalau jam 10 nggak pulang baru dicari."
Posisi mereka di teras depan.
"Jam sembilan lebih 40 menit, Mas."
"Gue aja yang nyari, Mas." sela Bian.
"Udah ntar aja. Yaelah masih sore, bro. Biasanya juga tuh anak balik subuh."
"Jam sebelas nggak pulang, cari!" tegas ayah sebelum akhirnya berlalu ke dalam.
"Iya, iya. Buset dah, Pa. Kemarin ngelayap tiga tahun aja nggak dicariin." dumel Bara tentu setelah sosok ayah menghilang, "ll, ya. Bapak gue jadi agak alay semenjak berdomisili disini."
"Nggak boleh gitu, orang tual itu, Mas."
"Mas, lampu di kamar mati, pasangin!" Arumi muncul di depan pintu.
Mau nggak mau, Bara meletakkan toples kacangnya sebentar. Pokoknya dia kalau dimintai tolong mama dan arumi mana bisa nolak? Sama Kinan juga sebenarnya, cuma anaknya kan jarang minta tolong. Meskipun bentukan mereka kayak anjing dan kucing ia juga sayang kali.
"Ntar ya, Fab."
Mahasiswa teknik itu mengangguk. Membiarkan Bara masuk dan membuntut Arumi. Ia menilik jam ponselnya, menuju pukul sepuluh malam. Kemana sih nih Kinan? Kata Mas Bara udah nggak kerja kan?
Lagi asik-asiknya lihat layar hape sembari nunggu Bara kembali terdengar suara si mama memecah keheningan. Perempuan itu baru kembali dari luar memakai beat putih punya Kinan. Ada beberapa kantong belanja yang tergantung di depan.
Sebagai anak muda yang berbakti, Bian sontak berdiri dan membantu membawa kantong belanja itu menuju dapur. Kendati si mama udah bilang "nggak usah".
Dari sini ia dapat menyimpulkan kalau Kinan pergi nggak bawa kendaraan. Soalnya mobil Mas Bara juga ada di garasi.
Sama Sandi kah? Atau sama temennya yang anak PKM itu? Atau sama yang buaya itu?
"Bian, udah makan?" tanya mama ketika kantong belanjaan sudah sampai di depan kulkas.
Yang ditanya mengangguk dengan wajah ramah.
"Makan lagi mau nggak?"
"Aduh, udah kenyang aku, Tan."
Mama tertawa. Suka dia tuh kalau lihat anak laki-laki yang sopan begini.
"Bian udah berapa lama jadi temannya Kinan?"
Tak jadi beranjak, Bian memaku kakinya di dekat meja makan. Bahkan repot-repot menyandarkan badannya pada kursi.
"Udah dari semester 3, Tante."
KAMU SEDANG MEMBACA
Orbit | Kim Chaewon
Fiksi Penggemar"Dirgantara tanpa kamu, ibarat ruang kosong tanpa cahaya" Kalimat itu adalah sebuah omong kosong bagi Kinan. Apalagi yang berucap adalah seorang Fabian Dirgantara, orang yang katanya masih mendeklarasikan diri sebagai pacarnya meskipun kata putus su...