27 | Tanpa Status

129 24 21
                                    

Keluarga cemara.

Adalah kata kias yang merepresentasikan gambaran keluarga ideal di Indonesia. Dua kata itu menjadi simbol sebuah keluarga yang di dalamnya terdapat kesatuan cinta, kasih, persahabatan dan kemauan gotong royong. Katanya, kuncinya adalah komunikasi yang baik antar anggota, perlakuan normal yang saling menghormati, ayah menjadi nahkoda dan ibu menjadi asrama.

Benar, hanya sekedar katanya.

Entah bagi Kinan, Arumi maupun Bara, keluarga cemara itu hanyalah angan yang tak pernah sampai. Mereka tak pernah utuh. Jangankan berpikir tentang bagaimana menjalin kasih antara satu anggota dengan yang lain, mampu mempertahankan diri agar tetap waras mental saja sudah sangat bersyukur.

Sudah dua hari wacana menetap sementara itu terlaksana. Dan selama itu pula Arumi memilih untuk pergi dari kos. Sedangkan Kinan baru mau tinggal hari ini, sore ini selepas maghrib ia menginjakkan kaki di teras rumah.

Rumah. Benar-benar rumah. Ia harap begitu.

Entahlah, rasanya berat meninggalkan Lia dan Hanin di kos. Padahal mereka bilang nggak apa-apa. Mungkin karena terbiasa apa-apa bertiga. Tapi Kinan mengalah pada ego, cuma satu bulan kan? Jangan lari. Biar semua selesai.

Begitu kata orang yang menyewakan rumah untuk keluarganya.

"Kemarin ayah ke pak RT sama Bian." cerita ayah sembari duduk di meja makan. Bersama Arumi yang makan ayam masakan mama, "ngurus izin buat tinggal disini satu bulan."

"Kena admin dong yah." celetuk Arumi.

"Nggak seberapa daripada nggak bisa tinggal sama anak-anak ayah."

"Sweet banget."

"Yah, Bara nanti malam sampai sini." ini mama yang baru kembali dari ruang tengah.

"Lho, katanya tiga hari lagi."

"Nggak tau. Udahlah biarin. Mama mah udah percaya dia bisa handle kerjaan."

Kinan yang mencuci piring di wastafel hanya diam. Mendengarkan celotehan yang sudah lama tak ia dengar. Usai makan malam, ia harus sedikit tau diri. Masakan mama enak, meski lebih enak masakan bunda.

Mencuci piring selesai, Kinan mencuci tangan. Setelah itu berjalan berniat keluar dapur.

"Nan, mau dibuatin susu sama mama nggak?" tanya mama dari depan kulkas.

Kinan menggeleng, "Enggak, ma."

Setelah itu ia berjalan kembali. Melenggang begitu saja. Bahkan mengabaikan Arumi yang mengancam akan menghabiskan ayam goreng bagiannya. Memilih naik ke kamar di lantai dua.

Rumah milik keluarga Dirgantara, bukan rumah besar. Tapi juga bukan kontrakan kecil. Sebuah minimalis yang terletak di pinggir jalan raya. Punya halaman luas dan menjorok ke dalam. Ada lima kamar, dua di lantai dua, yang tiga lagi di bawah. Karena Arumi sudah memilih bagian depan, maka Kinan ambil yang lantai dua agak belakang. Sebenarnya dia dimana aja sih, yang penting bisa buat tidur. Toh, cuma sebulan. Ia juga jarang di rumah.

Seperti sekarang, jam menunjukkan pukul sembilan. Ia segera berganti pakaian. Pakaian dinas malam alias part time. Cari uang buat nongkrong di puncak sabtu besok.

Kalau dibilang capek hari ini capek banget. Ia bahkan nggak sempat tidur. Mulai pagi jadwal ujian, siang bikin plan strategi yang ia janjikan ke Bian. Sedikit evaluasi juga sih sama report. Meski baru jalan beberapa hari tapi lumayan sih, peningkatan meski 0,001%. Siang setelah jumatan mendadak ada latihan dan briefing sebentar di dojang, mengingat ia akan tanding sebentar lagi. Pulang sebentar ke kos, lalu kesini.

Rebahan setengah jam, makan malam dan sekarang ia sudah rapi dengan outfit kerjanya. Tak lupa hoodie abu-abu kesayangan.

"Nan, ini ayah."

Orbit | Kim ChaewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang