29 | Ketika Bara Memaksa

145 22 11
                                    

Siang itu usai waktu asar, tepatnya setelah ibadah berjamaah di vila, acara resmi dibubarkan. Mengingat besok hari senin, hari yang sibuk untuk memulai pekan. Meskipun beberapa mahasiswa sudah bubar lebih dulu pagi tadi, tetap saja parkiran masih ramai. Ada beberapa yang harus ngurus bimbingan di kampus, ada beberapa yang harus ketemu dosen di rumah, ada juga beberapa yang pulang karena kepentingan. 

Sandi sudah melesat lebih dulu tepat setelah asar bubar. Berboncengan dengan salah satu anak publikasi menerobos gerimis dan mungkin sekarang sudah sampai Jakarta. Begitupun Jerry yang memilih motoran berdua bareng anak acara entah siapa, juga Haris yang boncengan sama Windi. Nggak jadi nebeng Jerry.

Cuaca memang sedikit kurang baik. Meski nggak deras namun hujan kali ini bisa membuat basah jalanan. Sebenarnya Kinan sedikit bersyukur ayah sempat ngoceh membawa mobil Bara. Apalagi manusia yang kini bersandar di bangku penumpang itu terlihat nggak fit. Kalau hujan-hujanan takut malah jadi parah. 

"Nan, yakin nggak mau masuk? Kita udah 15 menit loh kayak gini?"

Pulang dari vila, Kinan nggak langsung bablas ke Jakarta. Melainkan memarkirkan mobilnya di seberang pagar sebuah rumah yang beberapa bulan lalu sempat ia kunjungi, walaupun akhirnya diusir. 

"Bentar lagi ya, Bi. 15 menit kalau bunda gue nggak keluar rumah kita pulang."

Betul. Rumah bundanya. 

Dua orang ini persis agen FBI yang lagi mengintai pelaku sebuah kasus. Dari tadi berdiam di dalam mobil sembari mengintip dari balik kaca kalau sang pemilik rumah keluar. 

"Bukan gitu maksud gue, Nan. Mau satu jam disini juga nggak masalah. Tapi, lo yakin nggak mau masuk? Kalau nggak berani sendiri sama gue."

Kinan mengetuk-negtukkan ujung jarinya di atas setir, kemudian menggeleng, "Nggak deh, takut ganggu. Gue cuma pengen lihat aja, Bi."

Si teknik itu tersenyum miris. Baru kali ini ia ketemu orang yang kangen ibunya aja harus ngumpet-ngumpet. Tapi ya maklum sih, selama yang ia tau bundanya Kinan nggak pernah menunjukkan itikad baik. Wajar anaknya trauma. Tapi seharusnya nggak gini sih. Separah-parahnya orang yang punya ikatan darah harusnya nggak gini. 

"Lo masih pusing, Bi? Ke rumah sakit aja biar gue nungguin lo 24 jam."

"Nggak perlu."

"Atau mau mampir ke curug dulu? Lo butuh healing tuh."

"Enggak, Nan."

"Mau cari cafe deket sini nggak? Kita balik abis maghrib."

Bian menegakkan badan, meninggalkan sandaran nyamannya di jok penumpang. Perempuan itu menatapnya penuh antusias. Mengharapkan jawaban yang pro dengannya.

"Ini kesannya lo kayak nggak mau pulang."

Kinan nggak menyangkal. Perempuan merebahkan punggungnya pada kursi kemudi, kembali mengetukkan jarinya pada setir. Matanya fokus ke depan menembus kaca, dengan bibir mengulum gusar.

Tebakan Bian nggak salah. Meski ayahnya berusaha membentuk rumah, tapi tetap saja ia masih tak bisa merasakannya.

"Nggak tau, Bi. Gue masih asing. Gue merasa bersalah, tapi tetap merasa mereka juga salah." ceritanya.

"Kalau gitu jangan pulang." ucap Bian, "sorry, saran gue waktu itu jangan di denger kalau bikin nggak nyaman. Pulang aja ke kos. Mobil biar gue yang balikin ke rumah ayah. Sekalian kalau ada barang lo yang mau gue ambilin?"

Perempuan itu mengambil jeda waktu. Tak mengalihkan fokus dari keadaannya semula. Membiarkan Bian di sampingnya memandang ragu.

Otaknya sedang berpikir, menimbang banyak hal. Terlebih untuk memilih antara ego atau kesempatan nya. Entah kenapa ia tiba-tiba bimbang padahal ia sudah memantapkan hati kemarin.

Orbit | Kim ChaewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang