Malam itu Fabian sedang sibuk dengan rencana proyeknya. Hampir pukul dua dini hari, dan kamarnya masih berantakan dengan laptop dan beberapa alat seperti kabel USB, breadboard, kapasitor, resistor, jumper wires dan lain sebagainya. Rencananya ia akan membuat proyek yang berhubungan dengan sistem kendali lampu otomatis pakai arduino dan raspberry pi. Makanya sekarang dia sedang menganalisa bagaimana cara kerjanya.
Ia yang memang mahasiswa sibuk dan bertambah sibuk dengan adanya proyek event HUT kampus. Tapi memang hobinya mencari kesibukan sih. Jadi nggak heran kalau udah masuk teknik masih cari-cari organisasi. Ini saja ia masih mau dimintai tolong anak BEM buat menggarap rancangan rundown seminar.
Sebenarnya Fabian ini orang baik kok. Dia sahabat yang royal untuk para teman dekatnya dan juga kakak yang baik buat Eri. Buktinya setelah ucapan Eri di meja makan kemarin ia tak ada niatan untuk memusuhi si bungsu, meskipun sekarang ia tengah dilanda kebimbangan.
Bicara soal kemarin, ia jadi ingat Kinan. Jadi menyesal udah melempar pertanyaan yang nyelekit. Emang ya mulutnya kadang-kadang nggak bisa dikontrol.
"Bang."
Terlalu fokus pada dokumentasi di layar, ia sampai terperanjat saat Eri tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Bahkan suara membukanya nggak terdengar. Si bungsu itu terlihat baru pulang, masih pakai jaket kulit kesayangannya dan meletakkan kunci mobil ke atas meja belajarnya.
"Gue bilangin mama lo begadang mulu." ucap Eri memancing perdebatan.
"Gue nugas. Emang lo begadang nge-game sampai subuh." balas Fabian, "darimana?"
"Jemput Darin."
Alis Fabian terangkat. Darin baru pulang jam segini? Rautnya meminta penjelasan.
"Lo nggak lihat base kampus? Timnya dapat emas di ajang public speaking competition. Dia habis ngerayain sama temennya di cafe deket kampus."
Fabian memandang penuh telisik, "Er."
"Nape?"
"Lo berhenti aja."
"Berhenti ngapain?"
"Berhenti memaksakan diri. Kalau nggak suka jangan dipaksa. Tinggalin aja Darin, dan biarin lo move on dengan cara lo sendiri."
Eri mengernyit. Wajah tengil itu perlahan luntur. Tapi tak berniat menjawab.
"Maafin gue. Lo pasti muak gue jadiin tameng terus. Benar yang lo bilang, gue egois. Pantas semua orang benci. Mulai sekarang, jangan lagi peduli sama apa yang terjadi di gue ya, Er. Apalagi tentang hati gue yang nggak nentu. Lo boleh lepas, nggak perlu ikut campur."
"Darin udah gede, dia udah bisa ngapa-ngapain sendiri, lo nggak perlu lagi jagain dia kayak yang gue suruh. Berhenti lakuin kalau lo nggak suka." lanjutnya.
"Terus gimana sama Kinan? Lo berantem sama dia?"
"Biar jadi urusan gue."
Kan Eri jadi merasa bersalah, "Maaf. Kalau aja gue bisa mengontrol emosi gue kemarin malam."
Fabian berdiri dan menepuk pundak Eri sembari tersenyum tipis, "Lo nggak salah. Semua gue yang salah. Emang dari awal gue sama Kinan nggak baik-baik aja. Semua permasalahan ini gue yang mulai."
Sejujurnya Eri selalu bertanya-tanya, Fabian akhir-akhir ini banyak bawelnya. Banyak cakap juga. Padahal sebelum itu, tepatnya hingga awal semester lima lalu, laki-laki itu masihlah jadi orang yang kaku, dingin dan beraura gelap. Kadang, Eri yang baru pindah dari Yogyakarta awal maba segan ingin menyapa. Makanya, ia nurut-nurut aja semua perintah Fabian. Termasuk tentang Darin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orbit | Kim Chaewon
Fanfiction"Dirgantara tanpa kamu, ibarat ruang kosong tanpa cahaya" Kalimat itu adalah sebuah omong kosong bagi Kinan. Apalagi yang berucap adalah seorang Fabian Dirgantara, orang yang katanya masih mendeklarasikan diri sebagai pacarnya meskipun kata putus su...