12 | Empat Sudut Trapesium

159 28 14
                                    

"Sebab kau terlalu indah dari sekedar kataㅡ"

"ㅡdunia berhenti sejenak menikmati indahmu.."

Kinan mengendikkan matanya pada Eri, lalu tersenyum genit. Sukses menimbulkan kernyit julid dari Sandi.

Di samping gedung FIP, tepatnya dpr yang lumayan ramai. Seusai diskusi laporan di laksanakan. Hanya bertiga, Eri sebagai ketua divisi, Bian dan Sandi yang berperan sebagai ketua bagian humas dan pubdok.

Namun nyatanya tak hanya mereka bertiga. Ada Kinan selaku ekornya Sandi. Berangkat bareng, pulang ya harus bareng. Sekalian ingin mengambil sertifikat kelas komputer di kemahasiswaan dan ke teknik dulu mengembalikan gitar milik Juno yang sekarang sedang Kinan pegang.

Menurut Kinan anak TI di persepsinya tuh kemana-mana bawa laptop, bukan gitar.

Lalu di sebuah bangku semen yang terhalang satu meja. Ada tiga buntut Bian. Darin, Jerry dan Akbar. Entah apa yang mereka bahas. Tampak tertawa-tawa sembari menunjuk layar laptop. Total abai dengan pembahasan proker yang terlalu membosankan.

"Dih, cakep lo?" interupsi Sandi sembari melempar tatapan sinis pada Kinan.

Sedangkan yang ditanya hanya tertawa kecil. Gitar di pelukannya berhenti dipetik, kedua kaki yang tadinya naik ke atas bangku itu turun. Lirik yang disenandungkan juga berhenti begitu saja. Surainya yang highlight coklat muda itu disibak sok anggun.

Ya, ini adalah hari pertama Kinan memamerkan rambutnya yang baru saja di cat coklat. Tak semua, hanya beberapa helai saja, karya tangan Lia. Kalau kata Sandi, kayak anak ayam karbitan.

Gadis itu cengengesan, "Hehe, sorry ya, Er. Habisnya kok rambut lo ganti coklat sih? Jadi mirip Cedric Diggory, dan yang pasti mirip gue. Gue kan nggak bisa buat nggak nyanyiin lirik yang cakep."

"Maaf ya, bro. Anaknya emang lagi mabuk kecubung dari semalem." potong Sandi.

"Katanya kalau mirip jodoh nggak sih?" Eri menanggapi dengan senyum kalem, "tapi saya suka suara kamu. Bagus."

"Really?" girang Kinan, "ayo sini gue nyanyiin lagi! Mau lagu apa?" lantas bersiap dengan gitarnya lagi, "perahu kertas aja ya? Mau bilang ku bahagia kau telah terlahir di dunia."

"Ahaha boleh, boleh. Padahal saya mau minta akadnya payung teduh, biar bisa berjalan bersamamu dalam terik dan hujan."

Kinan dan segenap candaannya yang tak manusiawi. Untuk orang-orang yang jiwanya sefrekuensi mungkin akan mampu mengikuti seperti yang Eri lakukan.

Namun ada juga yang malah menanggapinya dengan raut tak bersahabat seperti si mas-mas teknik elektro bersurai kelam yang kini duduk bersidekap sembari menatap tajam kedua insan yang sedang berbagi tawa. Kalau boleh jujur, ada sedikit pandangan negatif pada Kinan semenjak perkara kondom tempo hari. Inginnya cuek saja. Benar, itu bukan lagi urusannya. Namun tetap saja kepikiran.

Eri terlihat berpindah posisi. Mendekat dengan Kinan.

"Kamu sejak kapan suka gitar?"

"Udah lama loh. Dulu gue pernah jadi lead band pas kelas satu SMK."

"Ah, pantes. Smooth banget. Saya dulu pernah pengen bisa main gitar juga, tapi nggak sempat belajar." jelas Eri, "kalau untuk pemula belajar kunci gitarnya gimana ya?"

Kinan tampak memiringkan badan, menghadap Eri. Menunjukkan batang gitar, "Yang pertama kunci dasar A, paling gampang. Gini."

Tiga jari Kinan mengarah pada kolom fret yang sama, kolom kedua dari ujung. Jari telunjuk berada pada senar II, jari tengah menekan senar III dan jari manis di senar IV. Terlihat serius dengan Eri yang juga memperhatikan berekspresi sama. Lalu penjelasan itu berlanjut sampai kunci Am, B dan lainnya.

Orbit | Kim ChaewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang