31 | Anak Elemen Listrik

144 22 18
                                    

Kalau ditanya siang ini mau ngapain, maka Kinan akan jawab nggak ngapa-ngapain. Jika biasanya pulang kelas ia akan sibuk nugas, lantas bablas tidur siang, maka kali ini ia hanya membuntut Bian. Usai ikut mata kuliah Manajemen Investasi langsung meluncur ke sekretariat UKM, bertemulah di sana ia dengan Bian, akhirnya diseret ikut laki-laki itu.

Sekarang, duduklah ia di sini. Ruang tamu keluarga Dirgantara. Bersama sang kepala keluarga, alias papanya Bian.

Padahal di dapur terdengar sahutan ramai. Terdengar rusuh.

Alasan ia diajak kemari karena ada acara bakar-bakar. Tentu saja personilnya hanya Eri, Jerry, Akbar, Darin dan Bian si pemilik rumah. Hanya ia orang di luar circle, sedikit canggung mau gabung ngerusuh di dapur.

"Yang bikin landing page siapa?" kepala keluarga Dirgantara bertanya.

"Temen aku, om. Anak TI. Bagus nggak?" jawab Kinan terlihat penuh harap.

Aura yang ia kira akan awkward hilang begitu saja. Setelah tau kalau si bapak Dirgantara ini teman ayah, juga beberapa kali pernah ngobrol.

Yang lebih tua mengangguk-angguk, "Bagus aja sih. Yang bikin desainnya kamu juga?"

"Bukan hehe, temen kos aku."

"Ada kendala di budget nggak buat beginian?"

Kinan tatap laptop milik Bian di depannya, "Sejauh ini aman. Yang pegang keuangan Bian sendiri, Om. Aku urus pure content sama website aja."

Memang mengurus suatu project tanpa adanya leader membuat Kinan banyak pusingnya. Apalagi ia juga pemula. Maka di kesempatan kali ini ia sempatkan tanya pada profesionalnya, investor utama pada bisnis ini.

Siapa tau ia dapat wejangan yang bisa dipakai untuk urusan strategis ke depannya.

"Ini cukup oke. Ke depannya gimana? Ada rencana campaign?"

Mahasiswi pendidikan itu berpikir sejenak, "Rencana ada, Om. Tapi buat pertama kali mungkin buat goals di awareness dulu."

"Mau iklan?"

"Media sosial dulu nggak sih? Iklan budgetnya terlalu tinggi. Selain itu harus ada riset biar ada insight di dalamnya. Biar lebih bermakna."

Sang kepala keluarga tampak scroll, beralih ke media sosial.

"Ini sosmednya baru ke isi gambar semua ya?"

"Hehe belum sempet ambil video, Om. Kemarin masih UTS. Udah ada briefnya sih, rencananya Bian sendiri yang nanti jadi talentnya."

"Boleh tuh, tapi anaknya mana mau?"

"Kalau nggak mau satu-satunya jalan adalah dipaksa. Demi masa depan keluarga dan keuangan yang stabil."

Pembahasan itu terus berlanjut. Kinan memang mengaku kalau urusan internal manajemen ia nggak ngerti dan kayaknya nggak mau ikut campur juga. Urusannya hanya di batas pemasaran khususnya digital. Papanya Bian juga paham, ternyata urusan manajemen masih dipegang pusat alias dia sendiri. Ia bukanlah orang ceroboh yang serta merta menyerahkan seluruh bisnis pada sang anak.

Kinan kira bercakap dengan orang profesional akan menyeramkan dan nggak nyambung mengingat dirinya sendiri yang amat sangat fakir ilmu.

Ternyata obrolan ini sangat memberinya ilmu baru.

Bahkan Kinan nggak segan untuk mengatakan bahwa mungkin bisnis ini akan berjalan agak lambat. Mengingat Bian sendiri agak ogah-ogahan menjalaninya.

Ternyata tanggapan yang ia dapat juga positif.

Orbit | Kim ChaewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang