41. Cobaan Hidup

271 50 3
                                    

Melihat Garam sudah tidur, San langsung bangkit dari kasur tidurnya. Ia segera bersiap-siap untuk pergi ke istana, San diam-diam sudah membuat janji dengan Law dan Aram.

Soal Aram yang tak pernah pulang ... sebagai orangtua sebenarnya San mengkhawatirkan anak itu, apalagi Aram sudah berhasil membuat Garam gelisah akhir-akhir ini.

Aram bahkan lebih suka meminta pertemuan di rumah makan dari pada ke rumahnya bertemu Garam, San sadar inilah mimpi buruk yang Garam selalu takuti saat anaknya sudah betah di keluarga orang lain. Penyesalan yang tidak bisa dikembalikan seperti semula.

Sampai di tempat pertemuan San melihat ada dua orang yang berpenampilan mencolok di meja paling belakang, dua orang yang menyembunyikan tubuhnya mengunakan jubah putih berkancing emas dibagian leher jubah tersebut.

San senang, pertama kalinya ia melihat Aram versi remaja, anak itu anaknya ... dengan poni yang menutupi sebelah matanya, rambutnya menjadi jauh lebih pendek dari sebelumnya, aura yang Aram keluarkan juga jauh berbeda, anak itu bahkan tak senyum saat melihat San.

Saat San duduk dihadapannya, anak itu tak meliriknya sama sekali. Aram tampak sibuk membaca sebuah buku.

Law sampai harus menegur anak itu agar menyimpan bukunya.

"Aku sudah bilang berkali-kali pada Aram untuk segera pulang sebentar menjenguk Garam, tapi sulit dia selalu berasalan, pokoknya kau tanya sendiri," ucap Law memulai pembicaraan.

Sudah San duga.

"Aku juga tidak memutuskan hubungan antara kalian, selama tiga tahun ini aku sangat sibuk, sulit sekali untuk berbagi waktu, dan tentang aku menyuruh Luna dan Luka keluar dari rumah Garam karena aku tidak ingin istriku tahu tempat Garam berada."

"Ayo kita pulang aku bosan ingin istirahat," keluh Aram tak peduli jika didepannya San masih ingin berbicara dengannya.

Aram seakan tak menganggap San sebagai orangtuanya lagi.

"Setelah dia masuk akademi, sifatnya jadi aneh, aku tidak tahu salahnya di mana," jelas Law. Ia tak mau San salah paham dan mengira Aram seperti ini karena didikannya.

"Sebenarnya aku sudah menduga ini, semakin besar seorang anak dia akan mengubah pola pikirnya menjadi lebih kritis." San mengurut keningnya.

"Aram? Kenapa kau tidak mau pulang, Garam merindukanmu," ucap San. Ia ingin mengajak Aram pulang, alpha itu ingin sekali memeluk anaknya tapi bagaimana caranya? Bahkan sekarang saat San menyentuh tangan Aram, Aram langsung mengusap tangannya mengunakan sapu tangan.

"Kau tahu? Moon berubah drastis setelah kejadian itu, aku mohon kau pulang ya? Mungkin bisa jadi setelah kepulanganmu Moon akan kembali seperti semula, bagi waktu saja bersama keluarga aslimu, kalau kau sangat nyaman di sini kau boleh kembali lagi Aram setelah bertemu mereka."

"Sun juga sering menangis dan tak pernah keluarga rumah, dia ingin Moon memaafkan sifat egoisnya, hanya kau yang mungkin bisa memperbaiki keributan ini."

"Kau tidak merindukan dua adikmu juga? Mereka sudah besar, mereka sangat manis, kau tidak penasaran?" tanya San lagi dan lagi.

Namun Aram bersifat seolah tak peduli, anak itu tak menjawab sama sekali.

"Aram?! Kau dengar tidak hah?" San sampai harus menegur anaknya.

"Aku tidak mau, aku sudah betah di sini," jawab Aram dingin.

"Ini hanya sebentar, sebentar saja, kau boleh balik lagi ke sini sebebas yang kau mau," ucap San sekali lagi memohon.

"Tidak." Aram melipat tangannya sambil berkata,

"Rumahku di sini."

Mendengar itu ... rasanya kepala San ingin pecah, kenapa sangat sulit? Kenapa Aram menjadi lebih keras seperti ini? Apa pergaulannya membuat sifat anak itu berubah? Apa pemicunya selain pola pikir?

"Apa ... kau juga benci Sun karena dia tak mau mengalah? Membenci kejadian 7 tahun lalu? Aku kira kau tidak masalah tentang itu? Kau mengalah dengan senang hati," tanya San heran.

"Aku tidak ingin membahas itu." Aram bangkit dari tempatnya. Ia langsung menyuruh Law bangun juga dan segera pergi dari tempat itu.

"Aku akan pulang kalau aku niat," ucap Aram sebelum pergi.

*****

San pulang dengan rasa kecewa, tubuhnya semuanya terasa lesu. San pusing, ia tak bisa berpikir jernih, ia kadang berpikir apa ini karma? Sampai di depan rumah San melihat ada banyak sekali sendal, pertama kalinya ia melihat banyak tamu datang ke rumah Garam apalagi malam-malam.

"San kau darimana?" Garam tiba-tiba datang memeluknya. Omega itu menangis sesenggukan. San semakin bingung dibuatnya.

"Moon pulang," ucap Garam. Ia kemudian menarik tangan San untuk masuk ke dalam.

"Baguslah," jawab San lega. Di sebuah bangku San ada orang yang terbaring, ia juga melihat banyak orang berdiri di dekat sana termasuk Sun, mengelilingi bangku tersebut.

"Tapi kenapa banyak orang? Kenapa Sun juga keluar?" tanya San mulai gelisah.

"Moon bunuh diri San, ibu bilang dia menjatuhkan diri ke dalam air," isak Garam. Omega itu meremas tangan alphanya semakin kuat.

"Apa?!" San terkejut. Jadi orang-orang yang berkumpul dengan Sun itu mertuanya, ibu dan ayahnya Garam dan dua warga.

"Ibu bilang saat dia perjalanan pulang dari hutan mereka melihat seorang anak yang mabuk dan menjatuhkan diri ke air, awalnya mereka kira Moon berenang tapi ternyata dia tidak bangun-bangun dari air, aku tidak mengerti kenapa, aku tidak tahu kita kurang apa, kenapa malah jalan ini yang dia pilih," lirih Garam semakin sedih.

"Aku tidak mengerti kenapa anak kita bisa mabuk San ... aku tahu Moon sudah remaja tapi bukankah Moon masih dibawah umur? Kenapa dia lakukan itu? Apa dia mencurinya? Atau ada orang yang memberi itu? San bagaimana ini aku takut kehilangannya."

"Kenapa dia sangat bodoh, kalau ada yang mengganjal dihatinya kenapa dia tidak bilang saja? Aku bisa melakukan apapun yang dia mau," ucap Garam sekali lagi.

Tubuh Garam meluruh, kakinya sudah tidak tahan memompa tubuhnya lagi, rasanya berat.

"Tenanglah," ucap San berusaha menenangkan. Ia ikut menjatuhkan tubuhnya untuk memeluk Garam.

"Kalian sebagai keluarga harusnya lebih terbuka dengan anak kalian sendiri." Ibu Garam tiba-tiba menghampirinya.

San langsung memeluk Garam semakin erat, tahu apa yang akan dibicarakan wanita tua tersebut.

"Jangan sampai seperti ini, kalian memiliki lima anak tapi kacau semua, yang paling kecil cacat, satu lagi keterlambatan bicara, anak ketiga entah kemana, anak kedua dikamar terus, anak pertama hampir mati bunuh diri, kalian bisa mendidik anak kalian tidak sih? Masa anak kalian mabuk-mabukan kalian tidak tahu? Kalian tidak mengontrol pergaulan mereka?"

"Apa pekerjaanmu Garam? Di rumah saja? Santai-santai?" sindir sang ibu.

San tidak tahan mendengar itu, rasanya ia ingin menerkam mertuanya sendiri.

"Ibu—"

San menutup mulut Garam. "Biar aku yang berbicara, Garam."

"Berhenti membuat kita semakin pusing ibu, aku berterimakasih karena ibu sudah menolong anakku tapi kalau ibu selalu menyindir keluarga kita, lebih baik ibu pergi, ibu tidak tahu apa-apa makanya ibu banyak bicara kalau ibu tahu yang terjadi pasti ibu tidak akan berbicara seperti ini," sindir San.

San kemudian menunjuk pintu. "Sekarang keluar!"

Bersambung

[Femdom] Mencari Sang Alpha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang