prologue

182 13 0
                                    

Siang di hari sabtu kali ini cukup terik, tetapi tidak membuat pria itu berhenti dari aktivitasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang di hari sabtu kali ini cukup terik, tetapi tidak membuat pria itu berhenti dari aktivitasnya. Reno adalah satu dari jutaan laki-laki pecinta kendaraan roda dua, jadi hal seremeh panas matahari tidak membuat tugasnya untuk membenarkan mesin motor tertunda.

Namun, siang itu, dia dibuat terkejut dengan sang putri yang baru pulang sekolah. Begitu netranya melihat Rena, ia memekik detik itu juga.

"YA ALLAH, RENA, KAMU KENAPA?!"

Rena baru pulang sekolah dan seharusnya gadis itu baik-baik saja, tapi lihat apa yang tertampil di hadapannya?

Rambut dan baju seragam anak itu kusut parah, ada rona kemerahan di pipi kirinya-terlihat seperti bekas tamparan, tangannya memeluk tas punggung warna kuning yang di beberapa titiknya terdapat noda kecokelatan khas tanah. Sementara satu kakinya tak terbalut sepatu. Cara jalannya pun sedikit pincang, sebab kakinya yang telanjang lecet di mana-mana.

Sang ayah berlari menghampiri putrinya, menangkup rahang kecil Rena dengan hati-hati. "Siapa, hm?"

Dia sudah tahu ini ulah anak-anak nakal itu, sebab ini bukan pertama kali. Namun sejauh ini, hari ini jadi yang terparah.

"Ayah..."

Tanpa kata, laki-laki itu membawa Rena ke pelukannya. Dipeluk erat oleh ayah, Rena tak bisa untuk tak menangis. Isak yang selama perjalanan ia tahan, pecah saat pelukan hangat pria itu merengkuhnya. Reno sendiri matanya sudah basah, ada perasaan sakit tersendiri saat melihat kacaunya sang putri.

"Masuk dulu, Ayah obatin luka kamu."

•••

Melihat apa yang terjadi hari ini, Reno jadi berpikir itu bisa terjadi lagi-lagi karena keegoisannya. Dulu ia egois menginginkan seorang anak hingga berakhir mengorbankan nyawa sang istri. Sekarang ia egois tidak menikah lagi dan itu berimbas pada kehidupan sang putri.

Ini tidak akan terjadi jika ia tidak egois. Namun, salahkah ia tidak ingin melupakan Laura? Salahkah jika ia menginginkan Rena hanya memiliki satu ibu saja? Atau, salahkah ia karena masih mencintai istrinya yang sudah meninggal hampir 20 tahun yang lalu?

Sewaktu memandang foto sang istri yang tersenyum, selalu ada perasaan bersalah yang muncul dari dalam diri Reno. Jika melihat ke masa lalu, sejujurnya ia tidak pernah menyangka waktunya bersama Laura hanya lima tahun saja. Dia selalu berpikir akan mengembuskan napas terakhirnya di hadapan sang istri ketika tua nanti. Namun yang terjadi justru sebaliknya. 18 tahun yang lalu, justru perempuan itu yang mengembuskan napas terakhirnya di depan Reno, hanya beberapa saat setelah melahirkan putri tunggal mereka.

"Maafin aku, karena gagal melindungi Renatta lagi..."

Hanya itu yang mampu ia katakan, karena sedetik setelahnya, lelaki itu bergegas keluar kamar beserta kotak P3K yang memang tersimpan di kamarnya.

Rena sudah berganti pakaian ketika ia melangkahkan kaki ke kamar bersama nampan di tangan. Gadis itu duduk di tepi ranjang, sementara Reno lekas duduk bersila di atas lantai, begitu telaten mengobati kaki sang putri.

"Maafin Ayah." Reno tiba-tiba bersuara di tengah kesibukannya mengobati luka kaki Rena. Wajahnya mendongak, hanya sebentar sebab ia lekas kembali melanjutkan kegiatannya setelah menarik satu helaan napas. "Ayah gagal jagain kamu. Lagi."

"Ayah apaan, sih? Bukan salah ayah kok."

"Siapa yang ngelakuin ini ke kamu?" Melihat keterdiaman anaknya, Reno kemudian berusaha menebak. "Apa masih orang yang sama seperti waktu itu?"

"Yah..."

"Hmm?"

"Apa bener aku anak pembawa sial?"

Reno menoleh cepat, dari wajahnya jelas dia sempat tercekat sebentar, kemudian bertanya dengan nada sedikit emosi. "Mereka bilang gitu?"

Gadis dengan rambut setengah basah itu mengangguk kaku. Terlihat ketakutan sampai tanpa sadar memilin kain sprei.

Reno menarik napas panjang. "Nggak ada yang kayak gitu, Sayang. Jangan didengerin, ya."

"Tapi Mama nggak ada gara-gara aku, aku datang Mama malah pergi. Selama ini juga aku jadi beban buat Ayah, kan? Aku nggak cukup membanggakan buat-"

"Stop! Ayah nggak mau denger kamu ngomong gitu lagi."

"Kenapa?"

"Karena itu nggak bener. Ayah udah bilang gitu tadi."

"Ayah..."

Reno memejam dengan perasaan sesal yang semakin besar. "Pindah ke sekolah baru aja, ya?" tawarnya lalu.

Tapi Rena malah menggeleng. "Tanggung, bentar lagi semester akhir, terus lulus."

"Tapi di sana kamu bakal terus disakiti, Rena."

"Aku bisa tahan, lagian semester dua pasti bakal sibuk ujian sama ngurus kelulusan, nggak bakal kerasa." Melihat sang ayah yang hanya diam, ia akhirnya melanjutkan. "Ayah tenang aja, aku bakal baik-baik aja."

Ia kemudian menarik Reno agar duduk di sampingnya. Bukan tanpa alasan, Rena ingin memeluk ayahnya. Dada lelaki itu menjadi tempat paling aman sekaligus tempat favoritnya sejauh ini.

"Ayah..."

"Hm?"

"Aku sayang Ayah."

Bisa Rena rasakan sang ayah mengelus rambutnya yang setengah basah. "Ayah juga, Sayang, Ayah juga. Semoga di SMA nanti kamu gak lagi dapat perundungan."

•••

Baca bagian read me please dulu yaa 😉

Tasikmalaya, 23 Maret 2023

Glacier | Renjun ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang