Cowok itu menatap rumah di hadapannya beberapa lama. Sesekali memandang ponsel yang berada di genggamannya. Geraknya seperti memastikan, sebab setelahnya, ia berjalan mendekati gerbang.
“Kak, gue udah di depan,” katanya pada seseorang yang baru saja ia hubungi.
“Oh? Tapi Rena-nya udah pulang, Git.”
Alisnya berkerut tanpa sadar. “Udah pulang? Kapan?”
“Mungkin sekitar sepuluh menit yang lalu? Baru, kok. Lo kalau mau ke dalam masuk aja—”
“Gak dulu, Kak Juan. Gue ke sini cuma mau jemput Rena pulang tadinya. Tapi dia udah pulang duluan.”
“Oh, yaudah kalau gitu. Hati-hati pulangnya.”
“Ya,” balasnya singkat, lantas mengakhiri panggilan tanpa menunggu balasan apa pun dari Juan.
Cowok itu, Sigit, harus menghela napas karena perjalanannya ke sini tak membawa Rena pulang bersamanya. Ia memang tak memberitahu gadis itu—tak ada rencana kejutan, Sigit hanya berpikir tadinya, Rena akan berdiam lebih lama sebab bersama Raja. Tapi dugaannya salah.
Tidak butuh waktu lama, ia lantas kembali menaiki motornya yang diparkir di pinggir jalan, melajukannya sejurus kemudian.
Cowok itu memarkirkan motornya tepat di depan garasi rumah. Sigit tengah melepaskan helm saat dari dalam, terdengar suara tamparan. Pergerakannya berhenti selama beberapa saat, sebelum kemudian, ia mendesah berat.
Sekarang apa lagi?
Begitu membuka pintu, pemandangan orang tuanya yang tengah bertengkar—tidak, anak kecil pun tahu, di sana hanya Papa yang jelas tengah menyiksa Mama—langsung tersaji di depannya. Ia terdiam di ambang pintu, membeku.
Perlahan, matanya memanas.
“Nah, anakmu pulang juga.”
“Papa kenapa lagi?” tanya Sigit, langkahnya membawa ia kian dekat dengan Papa.
“Dari mana saja kamu, hah?!”
Sigit memilih bungkam. Namun dari tatapannya yang nyalang, sudah menggambarkan dengan jelas jika ia tidak suka dengan nada bicara sang ayah.
“Habis sekolah bukannya langsung pulang, malah mampir ke kafe dan godain cewek.”
“Emang kenapa? Papa keberatan?”
“Oh, jadi kamu mau jadi anak nakal, iya?” Pria setengah baya itu kemudian menggulung lengan bajunya sampai siku, bersiap melakukan kekerasan lagi. Sigit sudah bisa menduga, tapi kali ini ia memilih diam.
“Sini kamu!”
Grep
Plak!
Sigit sudah pasrah, dia memejamkan mata dan siap menerima tamparan dari papanya sendiri. Namun tidak. Pipinya tidak merasakan panas seperti yang seharusnya, padahal suara tamparan jelas terdengar mengerikan barusan. Dia justru merasa tubuhnya didorong sampai mundur dua langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glacier | Renjun ✓
Novela JuvenilRena pikir hidupnya akan baik-baik saja saat memasuki dunia sekolah menengah atas. Namun ternyata, ia salah kira. Nyatanya takdir masih belum lelah untuk mempermainkan hidupnya. Bukannya hidup seperti siswi normal, dia malah terjebak dalam pesona ke...