O8 | arrgghhhhh

38 8 0
                                    

Raja menatap layar ponsel yang telah padam di genggamannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raja menatap layar ponsel yang telah padam di genggamannya. Satu helaan napas keluar tanpa bisa ditahan, bersamaan dengan ia mengantongi benda itu di saku celana.

Barusan sekali, ia selesai berbincang dengan Mama. Untungnya Mama bisa mengangkat panggilan di tengah pemotretan yang sedang berjalan. Tujuannya hanya satu, meminta perempuan itu pulang barang sehari, hanya untuk menghadiri rapat orang tua dan mengambilkan buku laporan hasil belajarnya selama satu semester ini. Tapi Mama menolak dengan dalih sibuk akhir tahun ini.

Ia sudah bisa menduga sebenarnya, tapi mendengarnya langsung... sakit di hatinya tak berkurang sedikit pun. Penolakan Mama barusan mencubit perasaannya. Bodohnya ia tetap menelepon meski bisa menebak apa yang akan dikeluarkan perempuan itu.

Padahal ia hanya ingin seperti teman-teman kelasnya. Raja hanya ingin Mama muncul di sekolah dan menjadi walinya. Terlepas dari pekerjaan perempuan itu yang merupakan penyanyi internasional, Raja tak peduli. Ia tidak bermaksud pamer, ia hanya ingin merasakan rasanya diwakili oleh mama sendiri saat pengambilan buku raport. Sebab, selama dua tahun yang menjadi wakilnya selalu mama Kak Mahen.

“Mama lo gak bakal datang lagi?”

Cowok itu melirik Mahen yang memang sudah tinggal di ruang OSIS sejak ia sibuk menelepon tadi. Dan dari keterdiaman Raja, Mahen mengartikan bahwa itu jawaban iya.

“Gue gak ngerti sama jalan pikiran orang tua lo deh, Ja. Mereka kalau gak niat punya anak gak usah bikinlah, jangan malah ngambil enak pas bikin, eh malah gak mau tanggung jawab.”

Kalimat pedas Mahen tak sedikitpun melukai hati Raja, nyatanya pria itu malah memasang senyum pahit. “Gue ada karena ketidaksengajaan. Jadi wajar, sih.”

“Tetap aja, nggak waras kalau itu dijadiin alasan buat lari dari tanggung jawab.”

Raja tak bisa membantah, sebab ia juga setuju dengan kalimat yang barusan Mahen lontarkan.

“Mama gue bisa gantiin dia lagi lusa. Lo tenang aja.”

“Nggak usah deh, Kak, gue ambil sendiri aja. Gak enak ngerepotin beliau mulu dari awal masuk.”

“Mama sendiri yang bersedia. Malah dia nanya kapan hari pengambilan raport lo ke gue.”

“...”

“Jujur gue iri sama lo, tapi gue paham maksud mama gue.” Raja menundukkan kepala untuk menyembunyikan senyum yang tak bisa ia tahan. Perasaannya tersentuh mendengar penuturan Mahendra. Jika ibu kandungnya tidak ada, dia masih punya dua ibu lain—mama Mahen dan Juan—yang bersedia menyayanginya seperti anak sendiri.

“Yaudah deh, Kak. Thanks, ya.”

By the way kemarin gimana? Ital beli buku apa aja di Gramed?”

“Cuma novel 3 biji, kenapa emang?”

What?” Dia kelihatan tidak percaya, lalu ketika melihat anggukan Raja, satu helaan napas keluar dari mulutnya. “Tuh anak kalo beli novel emang suka gak sadar diri. Maafin ya, entar gue transfer uang gantinya ke atm lo.”

Glacier | Renjun ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang