08 | RASA TAKUT

989 113 31
                                    

"Jika ada yang lebih tenang dari gelapnya malam, mungkin itu pelukan dari Semesta."
— Angkasa Djiwa Pitaloka

****

Hari dimana matahari bersinar sangat terang, Semesta mulai membuka matanya dan menatap wajah teduh sang istri. Bagaimana bisa Djiwa menjadi lebih cantik setiap harinya? Semesta tak bisa berhenti memuji istrinya seperti ini.

Hari lelah yang di lalui Djiwa membuat Semesta semakin tak ingin jauh dari wanita kuat ini, tepat setelah kata maaf yang selalu keluar dari bibir Semesta, tidak ada guratan marah dari Djiwa yang membuat Semesta semakin merasa bersalah.

Luar biasa itu bisa di rasakan saat kita bertemu orang yang tepat, dia yang sanggup bertahan meski rintangan tak berhenti datang, dia yang sanggup menemani meski langkahnya kadang tak sampai, dan dia yang selalu mengatakan 'kita akan selalu bersama, percaya itu'.

"Selamat pagi, Djiwa," ucap Semesta tersenyum dan mengecup kening istrinya.

"Pagi," balas Djiwa masih dengan mata yang tertutup.

"Saya siapin air hangat untuk kamu mandi, tunggu ya," ucap Semesta lalu bangkit dari kasur.

Djiwa tersenyum dan duduk di pinggir kasur. Matanya menyipit saat sinar matahari mengintip dari celah jendela, kemudian ia bangkit dan membuka tirai hingga kamarnya terang sempurna, beralih membuka pintu balkon lalu menghirup udara segar di sana.

"Sayang, airnya udah siap. Kamu mandi, saya siapin sarapan," ucap Semesta keluar kamar mandi.

"Tunggu saya aja, mas," kata Djiwa.

Semesta lalu menggeleng. "Tangan kamu masih di perban." Ia pun langsung turun kebawah.

Sarapan kali ini, Semesta akan menggoreng ayam saja, di tambah nasi putih dan jus alpukat untuk dessert. Tak lama kemudian Kejora turun ke bawah, sarapan pun sudah siap dan Semesta sedang menunggu jus di blender siap.

Djiwa duduk di kursi sembari memperhatikan Semesta yang sibuk bolak-balik di dapur. Seperti menjadi ratu kerajaan, bahkan ia hanya duduk santai sedangkan Semesta yang menyuapinya.

"Kamu gak pake parfum tapi wangi banget," ucap Semesta tersenyum. "Sabunnya bagus, kalau di dekat kamu, saya jadi berasa di taman bunga."

"Jadi saya taman?"

"Bunganya, sayang. Kamu wangi kayak bunga."

"Bunga apa? Bunga bangkai?"

"Bunga bangkai itu bau bukan wangi. Kamu jangan mancing-mancing, nanti kalau saya salah jawab malah ngambek," ujar Semesta membuat Djiwa tertawa.

"Mas, saya makin besar ya?"

Semesta terdiam sejenak, baru saja ia peringatkan untuk tidak membuat masalah, tapi pertanyaan ini sangat menjebak.

"Enggak. Bukan kamu yang besar, tapi bumi yang mengecil," jawab Semesta tersenyum tanpa dosa.

"Bumi mana bisa mengecil. Jadi aku besar? Aku gendut?"

"Iya. Kan di sini ada adek bayi," ucap Semesta mengelus perut Djiwa, nada lembut yang ia keluarkan mampu membungkam Djiwa.

"Dulu saya sering dengar teman kantor bilang kalau istrinya yang lagi hamil tu kelihatan makin cantik. Awalnya saya ngatain dia lebay dan bucin, tapi akhirnya saya ngerasain hal itu dan yang teman saya bilang 100% benar," ujar Semesta.

"Kamu cantik. Selalu cantik."

Djiwa menunduk sembari memainkan jarinya, Semesta paham jika istrinya sedang merasa tidak percaya diri. Ia juga sudah mencari tahu kejadian waktu itu ke cafe juga pada Nata.

DJIWA SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang