ENAM

34 7 0
                                    

Presiden menjadi bingung. Ini kali pertamanya Aether bersikap seperti itu, biasanya anak sulung hanya marah dan bersikap impulsif, melakukan hal yang tidak berguna. Tapi sekarang kenapa malah-

"Jadi, Ayah lebih suka membela kepala pelayan yang tidak tahu malu?" Tanya Aether sambil melihat jam tangannya. "Ah, sudah jam segini. Aku harus pergi. Ibu."

Julia menoleh dan menatap putranya dengan tersenyum. "Ada apa Putraku? Ngomong-ngomong, dari tadi Ibu melihat kamu memakai kaos tangan, apakah ada luka di tanganmu?"

Aether menyeringai. "Tidak ada, hanya keisengan." Setelah menjawab pertanyaan Julia, dia mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompetnya.

Sebelum keluar kamar, dia sudah meneliti uang, debit card dan juga kredit card yang diberikan sang ayah. Pemilik tubuh sebelumnya pasti terlalu bodoh untuk membedakan debit dan kredit card. Dari perkataan pelayan, pemilik tubuh sebelumnya hanya asal memilih kartu di dompet, dan hanya beberapa kartu kredit saja yang terlihat sering dipakai. Sisa kartu debit dan tabungan masih terlihat bagus. Bukankah itu aneh?

Aether memperhatikan ayah, ibu tiri dan kedua adik tirinya lalu membuang semua kartu ke lantai dengan wajah angkuh.

"APA YANG KAMU LAKUKAN?!" teriak presiden dengan wajah merah padam karena marah.

Aether menyipitkan kedua mata. "Ayah tahu aku adalah anak yang bodoh dan tidak bisa membedakan antara kartu kredit, kartu debit dan kartu untuk menabung yang Ayah berikan kepadaku. Ketiga kartu itu- hanya kartu kredit saja yang terlihat lusuh, sementara kartu lainnya tidak. Kira-kira kenapa?"

Tangan kanan Julia yang sedang mengaduk terhenti ketika mendengar pertanyaan Aether.

"Ibu, bisakah cek kartu debit dan tabunganku, hari ini? Sepertinya kita harus mengganti beberapa pelayan di sekitarku."

Julia tidak menatap putranya, dia hanya menatap dingin Presiden, selingkuhan dan kedua anaknya yang panik.

Aether tersenyum lalu duduk di samping meja Julia dengan tidak sopan, membelakangi orang-orang serakah. "Mungkin yang harus Ibu periksa terlebih dahulu adalah kepala pelayan."

Tatapan tajam Julia beralih ke kepala pelayan yang berdiri ketakutan dengan kaki gemetar, kepala pelayan menoleh ke Presiden, selingkuhan dan anak-anaknya namun mereka terlihat enggan membantu.

Kepala pelayan ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan di tenggorokan ketika melihat senyum jahat Aether ke ibunya. Dia juga menyadari bahwa jika mengungkapkan semuanya, dia juga akan kena imbasnya. Yang terbaik adalah berlutut di bawah kaki Julia dan mohon pengampunan.

"Sa- saya mohon maaf- Nyonya, saya tidak bersalah! Saya hanya mendapat perintah dari Ibu Danti!"

Danti berdiri dan berteriak marah. "Apa yang kamu bicarakan? Kepala pelayan kurang ajar! Bagaimana bisa menuduh aku atas hal yang tidak pernah aku lakukan?!"

Aether turun dari meja lalu menatap lurus Presiden yang tidak berani bergerak sama sekali, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. "Hm-"

Pelayan yang mengikuti Aether, memutuskan bersumpah setia dan bersembunyi di sampingnya. Namun, sayang sekali- Aether berpikiran lain.

Jika tidak salah, pemilik tubuh sebelumnya tidak pernah dihargai pelayan dan pelayan muda itu turut serta merundung dirinya.

Aether yang sekarang, tidak akan pernah memberikan kesempatan untuk orang-orang yang berusaha menyakitinya, dia menatap dingin pelayan muda itu. "Tidak ada pengecualian."

Pelayan muda itu langsung berlutut dan mohon pengampunan. "SAYA MINTA MAAF, SUDAH MEMBUAT ANDA SEPERTI ITU! TOLONG MAAFKAN SAYA TUAN MUDA!"

Aether tidak peduli, dia berjalan perlahan, melewati kursi ibu tiri dan ayah kandungnya, lalu langkah terhenti di samping pelayan pribadi Aida yang berdiri gugup dengan ketakutan.

Aether menengadahkan tangannya. "Mana?"

Pelayan tidak berani bergerak, bahkan Aida pun tidak berani menoleh ke belakang membantu pelayan pribadinya.

"Aku masih baik hati, mana kameranya?"

Danti menatap benci Aether. "Tolong, berhentilah bersikap kekanakan, Aether. Kita di sini-"

Aether mendesis lalu menoleh ke kepala pelayan dan pelayan senior. "Kalian masih ingin bekerja di sini? Kenapa hanya duduk di sana?"

Kepala pelayan spontan menangkap pelayan pribadi Aida lalu pelayan muda Aether meraba tubuh pelayan itu, untuk mengambil alat perekam.

Pelayan pribadi Aida menjerit ketakutan.

Aida hendak beranjak dari kursi, tapi ditahan kakaknya.

Aida kembali duduk dan menundukkan kepala dengan sedih.

Aether sempat melihat momen itu dan menyembunyikan senyumannya.

Pelayan muda segera menyerahkan alat perekam berupa handphone itu dengan wajah bangga. "Tuan muda, ini-"

Aether menerima handphone itu dan melihat handphone yang sudah di password, dia melirik Aida yang membelakangi dirinya. "Aida."

Tubuh Aida menegang.

"Berapa password handphonenya?"

"Kakak bicara apa? Aku tidak mungkin tahu nomor password handphone seorang pelayan."

Aether menyeringai lalu menarik kursi Aida ke belakang.

Aida menjerit ketakutan.

Aether mendorong kursi sekuat tenaga, dan melemparnya ke samping.

Alvin yang terkejut sekaligus marah dengan perilaku Aether, berteriak marah. "APA YANG KAKAK LAKUKAN?!"

Dengan gerakan cepat, Aether memutar tubuhnya lalu mencekik leher Alvin. Aether sendiri terkejut dengan gerakan ringan tubuhnya, dia bersiul nyaring. "Wow."

Danti menjerit ketakutan dan berdiri hingga kursinya jatuh ke belakang.

Presiden tidak bisa berbuat apa pun, gerakan Aether terlalu cepat.

Alvin memegang erat satu tangan Aether yang mencekik dirinya.

Aether tersenyum. "Apa? Kamu mau bicara apa? Aku tidak dengar sama sekali."

Aida menangis kesakitan dan berusaha bangun.

Aether melirik ke bawah. "Berapa passwordnya?"

Aida tidak mau bicara dan menutupinya dengan menangis.

Aether bukan orang yang sabar, dia bahkan tidak akan menghormati siapa pun yang tidak menghormatinya. Tidak, justru- mereka harus hormat di bawah kakinya. Itulah kenapa dia disebut sebagai Pangeran Mafia.

Aether menarik tubuh Alvin, lalu menjatuhkannya di atas tubuh Aida, menghela napas kesal. "Tidak berguna sama sekali."

Kejam, memang itulah yang dilakukan Aether saat hidup di dunia bawah.

Presiden menunjuk Aether dengan marah dan tangan gemetar. "TANGKAP ANAK ITU! DIA SUDAH MEMBANGKANG!"

"Jika kamu berani menangkapnya, hadapi dulu aku," sahut Julia dengan nada santai. "Kamu tidak berubah, masih saja berpihak pada anak-anak selingkuhan."

"Selama ini- aku sudah memanjakan Aether, bagian mananya aku yang tidak berpihak kepadanya?"

Julia tersenyum. "Oh."

Presiden terdiam ketika melihat senyuman Julia. "Kamu-"

"Selama ini aku hanya diam saja, anggap aku bodoh. Seperti yang kamu bilang di pesta bersamanya." Julia menunjuk Danti dengan dagu.

Danti menjadi salah tingkah.

Aether duduk di meja, tepat di antara piring Alvin dan Aida. "Tidak ada yang menjawab, berarti cukup aku yang membuka password bukan?"

Aida merasa aman karena tidak mengatakan apa passwordnya, namun perasaan itu menjadi kacau setelah mendengar bunyi handphone yang dibuka password.

Presiden hendak menjangkau handphone di tangan Aether namun kalah cepat dengan gerakan Aether yang gesit. Tangan kanan menahan tangan sang ayah sementara tangan kiri memeriksa isi handphone.


KEMBALINYA PANGERAN MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang