DUA PULUH EMPAT

28 5 0
                                    

Komentar di twitty tidak terlalu parah, tapi yang lebih parah adalah di media sosial pacebok, Dimas benar-benar panen akun. Tidak perlu repot-repot mencari apakah akun itu palsu atau tidak, karena mudah sekali orang-orang bodoh berkomentar jelek dengan menggunakan akun asli bahkan mendoakannya dengan hal buruk sekalipun.

Dimas tertawa di dalam hati, ketika melihat komentar-komentar sok agamis yang menilai keburukan Aether, ketika melihat asal kota mereka dan juga foto-foto, tidak ada yang berasal dari kota belakang. Benar, kota belakang terlalu miskin untuk membeli paket internet. Saat iseng mencari sejarah komentar salah satu pemilik akun, dia semakin tertawa. Orang yang menghina dan menggunakan akun asli, juga menghina kota belakang.

"Apa yang kamu tertawakan?" tanya pelayan muda.

"Ada orang yang menghina Tuan muda dan mendoakannya jelek, tapi dia juga menghina orang-orang di kota belakang."

Pelayan muda yang terkejut, spontan duduk di samping Dimas. "Mana yang berkomentar jelek?"

Dimas menunjuk layar ipad ke pelayan muda itu. "Lihat."

Pelayan muda membacanya dengan teliti dan terkejut. "Kenapa ada orang yang berkomentar jahat seperti itu?"

"Karena mereka bodoh."

"Bodoh?"

"Ya, mereka bersembunyi di balik hukum kebebasan rakyat dalam berpendapat, tapi mereka juga melupakan adanya undang-undang penghinaan. Ini sama saja dengan mereka sesuka hati memakai hukum."

"Wah, keterlaluan sekali. Apa yang akan kamu lakukan dengan ini?"

"Terserah apa yang akan dilakukan Tuan muda." Dimas masih enggan membuka mulut untuk pelayan muda itu, dia sudah mendengar apa yang dilakukan pelayan muda itu ke Tuan mereka ketika terdesak."

"Apakah menurut kamu, Tuan muda akan melapor ke hukum?"

"Tuan muda tidak suka membuang waktu untuk hal yang tidak berguna, kamu sebaiknya bekerja dan jangan ganggu aku."

Pelayan muda cemberut ketika mendengar teguran Dimas. "Kamu keterlaluan sekali."

"Tidak, aku tidak keterlaluan. Aku hanya beritahu, sebentar lagi jam makan siang, jangan sampai Tuan muda melewatkan jam makan siang."

Pelayan muda teringat hal itu lalu segera menyelesaikan bersih-bersih.

Dimas mengawasi sekilas pelayan muda itu, lalu kembali fokus di depan ipad dan laptop terbuka, kali ini dia mencoba menarik perhatian netizen itu di salah satu media sosial berita yang membahas tentang kejelekan Aether.

'Aku tidak suka dengan kehadiran anak Presiden itu, semoga dia cepat mati sehingga tidak mengganggu jalan rezeki bapaknya.'

'Hahahaha benar, diantara anak-anaknya- hanya dia yang bermasalah.'

Dimas menarik napas panjang sebelum membalas komentar kurang ajar netizen tersebut, lalu mulai menulis komentar. 'Aether tidak pernah mengganggu anda, tapi kenapa anda malah mendoakannya dengan doa terburuk? Apakah anda tidak takut akan berbalik kepada diri sendiri?'

Terkadang Dimas merasa lucu dengan orang-orang macam ini yang suka berteriak menjelekkan orang lain, namun tidak mampu menilai diri sendiri. Yang berkomentar adalah seorang emak-emak yang menggunakan jilbab panjang. 

Jujur saja- Dimas bukan bertindak rasis untuk emak-emak macam ini, hanya karena pakaian yang dikenakan, namun memang kebanyakan emak-emak model ini berpikiran sempit serta baru memiliki media sosial, dia jadi penasaran- bagaimana raut wajah emak tersebut ketika ada polisi berdiri di depan pintu rumahnya? Menangis? Atau memohon ampun? Kebanyakan emak-emak yang jarang berkomentar dan menggunakan media sosial, justru memiliki rasa empati dan simpati yang tinggi.

Tidak lama ada yang membalas komentar Dimas, bukan emak itu yang membalas tapi orang lain.

'Buzzer! Antek PKI!'

Dimas merasa lucu saja dengan balasan konyol seperti itu, akun yang menghina dirinya adalah akun asli dan sepertinya jauh lebih percaya berita hoax dari pada berita asli.

Dimas merasa tidak penting membalas komentar pengangguran itu, dia beralih ke komentar lain yang justru menghina Julia, bukan Aether.

Kebiasaan buruk sebagian masyarakat Indonesia ketika menghina orang, mengkaitkannya dengan orang tua.

'Ibu si pemabuk pasti suka ngen*** dengan banyak pria, makanya hasil anak jadi seperti itu.'

Dimas menghela napas dan segera mengambil bukti atas komentar tersebut. Wow!

Keesokan harinya, jam lima pagi. Aether tersenyum puas ketika melihat banyak sekali bukti-bukti untuk menangkap haters. "Wah, tidak aku sangka bisa sebanyak ini hasil tangkapannya, terima kasih sudah bekerja keras untukku."

Dimas tidak mengatakan apa pun, hanya menipiskan bibir begitu melihat reaksi Aether yang gembira, yah- pekerjaannya memang tidak sia-sia. Sementara pelayan muda cemberut ketika mendengar pujian majikannya kepada rekan kerja, padahal dia juga bekerja keras menjaga kamar tetap bersih.

Aether tahu hal itu, namun pura-pura tidak tahu, dia masih belum memaafkan pelayan muda. Jika pelayan itu tahu diri sedikit, mungkin dirinya akan coba memberikan kesempatan kepada pelayan itu.

Dimas bertanya ke Aether. "Tuan muda, apa yang akan anda lakukan sekarang? Haruskah kita melapor kepada Presiden?"

"Untuk apa?"

"Yah, Presiden pasti peduli dan-"

"Ayahku pasti tahu hal ini tapi lebih memilih diam dari pada bergerak, aku juga tidak peduli dengan reaksinya. Sekarang, aku kumpulkan saja dulu semua bukti ini, baru bergerak."

Dimas tidak suka itu, pergerakan Aether terlalu lambat, berbeda dengan atasannya yang agresif.

Aether tahu jalan pikiran Dimas, namun dia tidak mau repot-repot menjelaskan pada Dimas. Lagi pula Dimas sekarang hanya mengenal Aether si anak emas Presiden, atau si pemberontak. 

Aether bangkit dari kursi lalu pergi ke kamar mandi, hari ini dia mulai menjalankan rencananya. Namun, dicegah oleh Dimas yang langsung menghalangi jalannya. "Apa?"

"Anda harus melihat rekaman semalam, saya sudah download."

"Rekaman?"

"Ibu anda kemarin muncul di televisi dan sempat menggemparkan banyak orang, setelah saya membuat thread."

Aether menaikkan salah satu alis.

***

Julia di pagi hari, mengunci kamar dan melihat rekaman yang disiarkan televisi semalam. 

"Saya merasa terhormat dengan kedatangan bu Julia, istri pertama Presiden kita. Selama ini bu Julia selalu sibuk dengan kegiatannya, sehingga hampir tidak pernah muncul di depan publik."

"Terima kasih atas undangannya."

"Nah, sekarang ini ada gosip menarik terkait anak anda- biasanya selama ini anak anda membuat masalah di publik, anda tidak pernah muncul dan Presiden pun terlihat tidak ikut campur. Tapi, kenapa sekarang anda malah muncul di depan publik? Apakah anda ingin meluruskan sesuatu atau memang ingin say hello ke teman-teman yang sedang menonton kita?"

"Sebelumnya saya hanya ingin menyapa teman-teman yang hadir dan juga menonton di sini, karena selama ini saya tidak pernah muncul di publik, bahkan saat bapak menjadi Presiden." Julia tersenyum sambil menganggukkan kepala dengan sopan. "Terima kasih masyarakat Indonesia, karena selama ini mendukung bapak. Saya cukup bekerja di balik layar saja."

"Kalau boleh tahu, kerja di balik layar yang bagaimana?"

"Yah, seperti membiayai semua kegiatan politik bapak," jawab Julia dengan santai.

Orang-orang yang menonton serta para peserta yang ada di lokasi langsung, terkejut dengan jawaban Julia. Namun, sepertinya pembawa acara tidak terkejut.

"Membiayai semua kegiatan politik bapak? Bukankah selama ini pak Presiden punya bisnis sendiri, bahkan sebelum menjadi suami anda anda?"

"Oh, inilah yang tidak pernah saya luruskan di publik. Itu salah, selama ini semua bisnis bapak, bahkan sebelum kami menikah, keluarga Kailash lah yang mendukungnya. Saya hanya ingin bicara blak-blakan saja, karena sepertinya banyak orang yang mulai mengatakan bahwa Kailash yang bergantung pada bapak."

KEMBALINYA PANGERAN MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang