DUA PULUH ENAM

32 7 0
                                    

Baron yang sudah melihat rekaman itu setelah ditunjukkan oleh kedua anaknya, spontan pergi ke kamar Julia dan masuk tanpa mengetuk pintu. "Apa yang sudah kamu katakan di depan publik?"

Julia minum teh dengan santai sambil menonton televisi. "Bisakah kamu mengetuk pintu terlebih dahulu? Kenapa kamu jadi melupakan sopan santun setelah bergaul dengan Danti?"

"Jangan bawa-bawa nama Danti, dia tidak tahu apa pun!" 

Julia meletakkan cangkir teh ke tatakan dengan kasar, lalu menegakkan tubuhnya. "Tidak tahu? Dia tidak tahu apa pun?"

Baron berdiri di tempatnya, berusaha menjaga jarak sekaligus mengawasi istrinya jika berusaha melawan. "Danti tidak tahu apa pun, jangan pernah melibatkan dia disetiap pertengkaran kita."

"Kamu selalu membela anak-anak dan selingkuhan, tapi kamu tidak bisa membela Aether dan aku. Apakah kami sudah bukan bagian dari keluarga kamu?" tanya Julia.

"Bukan seperti itu, aku hanya mengharapkan kamu dan Danti-"

"Apakah kamu tahu kalau kamu nyaris tidak bisa menjadi Presiden karena tingkah laku kamu yang menjijikan di masa lalu? Siapa yang mati-matian menutupinya? Dan sekarang anak kamu kena masalah berkat ketidak tahuan Danti, kamu tidak melakukan apa pun."

"Julia, apakah kamu mendengar hal itu dari Aether? Anak itu justru mengadu kepada kamu?"

Julia spontan menoleh ke Baron, menatap tidak pecaya pria yang sudah dinikahinya selama puluhan tahun. "Selama ini Aether sangat dekat dengan kamu, membenci aku, dan ternyata kamu tidak pernah mengenal anak itu?"

Baron memijat keningnya. "Julia, hentikan pertengkaran tidak berguna ini. Tolong tarik semua perkataan kamu itu dan buat bahwa hubungan kita tidak ada masalah."

Julia mengangkat dagu dengan angkuh dan menjawab dengan nada dingin. "Jangan mengharapkan hal yang tidak akan pernah terjadi."

"JULIA!" bentak Baron sambil mengangkat tangan tanpa sadar dan menampar wajah Julia.

KLIK!

Suara kamera handphone berbunyi, Baron balik badan dan melihat putra sulunya berdiri di depan pintu yang terbuka sambil mengangkat handphone. 

"Foto yang bagus, bisakah diulangi lagi?" tanya Aether sambil tersenyum. "Ayah, apakah masih ingin menjadi Presiden?"

"Aether! Gara-gara kamu, semua menjadi kacau."

Dimas mengerutkan kening ketika melihat Aether hanya diam saja melihat ibunya dipukul, padahal pria itu punya waktu untuk menyelamatkan sang ibu.

"Aku?" Aether menunjuk dirinya sendiri sambil berjalan menolong ibunya, pelayan pribadi tidak berani mendekat karena tidak mau ikut camput. "Kenapa jadinya aku yang disalahkan? Bukankah harusnya yang membuat postingan itu disalahkan?"

"Jika saja kamu tidak mengusir teman-teman Danti, tidak akan muncul gosip seperti itu."

"Jika saja aku tidak mengusir mereka, yang ada mereka malah menghina aku karena tidur siang dengan botol alkohol terbuka di tengah meja," sahut Aether sambil membantu ibunya berdiri. "Apakah masih belum cukup dengan menginjak kami? Sebenarnya apa yang Ayah inginkan setelah mendapatkan semuanya?"

"Aether, jangan meracau!" Geram Baron.

Aether memeluk erat bahu ibunya, menatap marah pria yang bisa jadi pembunuh dirinya. "Lalu, aku harus diam saja?"

"Kalian berdua seharusnya bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk melindungi kedudukan aku, bukankah jika aku menjadi Presiden- seharusnya bisa menguntungkan kalian? Tapi kenapa, kalian malah berusaha menghancurkan semua kerja keras aku?" tanya Baron yang menatap Aether dan Julia bergantian. "Benci masyarakat? Hal gila apa yang sudah kalian lakukan? Kalian ingin aku hancur? Bagaimana dengan Kailash yang membutuhkan aku?"

"Memang kenyataannya masyarakat Indonesia itu kebanyakan tidak bisa diatur, untuk membaca informasi dengan jelas saja mereka tidak mau. Bagaimana bisa kami menundukkan kepala untuk mereka?" tantang Aether. "Lebih baik memang kalian berdua harus bercerai, satu kali memukul wanita yang melahirkan aku- sudah cukup."

Aether tidak tahu, apakah pemilik tubuh ini menyayangi ibunya, mengingat pemilik tubuh sebelumnya sangat bergantung pada sang ayah. Namun, yang pasti dia tahu kalau hatinya menjadi sakit begitu melihat Julia disakiti.

"AETHER!"

"Aku akan menarik semua harta yang Ayah pegang selama ini dan diberikan oleh Kailash."

"Jangan macam-macam, Ibumu dan Ayah tidak akan pernah bercerai!" Tolak Baron.

Aether menatap hina presiden. Lihatlah, pria yang sudah menampar istrinya di depan anak demi melindungi harga diri sendiri dan juga nama baik pelakor, berusaha mempertahankan rumah tangga yang sudah lama hancur.

"Jika, Ayah tidak ingin cerai- bagaimana jika Ayah membawa aku masuk ke dalam partai politik Ayah?"

Julia menatap terkejut Aether, begitu juga dengan Baron. Tidak menyangka anaknya akan meminta permintaan yang aneh.

"Aether, dulu kamu tidak tertarik politik? Buat apa masuk ke sana? Lebih baik belajar yang rajin atau melakukan apa pun yang kamu sukai," kata Baron yang berusaha mengubah pemikiran Aether. 

"Ayah, apakah aku tidak boleh masuk ke dunia politik? Bagaimana dengan Alvin?" tanya Aether. "Cerai atau aku masuk ke partai Ayah?"

Baron melirik Julia. "Harusnya kamu bertanya pada Julia, dia tidak akan pernah menceraikan Ayah dan hentikan semua omong kosong kamu!"

"Aku akan menceraikan kamu," sahut Julia dengan santai. "Buat apa mempertahankan rumah tangga yang sudah kacau?"

Baron menatap tidak percaya Julia.

Tangan Julia masih menutup pipinya yang ditampar Baron. "Rasanya sangat menyakitkan sekali, membesarkan orang yang tidak tahu diri."

Aether mengangguk setuju.

Baron berusaha menahan amarah, menatap ibu dan anak bergantian. "Kalian berdua sangat angkuh, mentang-mentang dibesarkan dengan kekayaan- kalian mampu bersikap angkuh dan berusaha menginjak aku!"

Aether merasa lucu dengan reaksi Baron. "Oh."

Julia menggelengkan kepalanya dengan pelan, Baron memang tidak masuk akal. 

Baron menutup mata sekilas lalu menatap Aether. "Kamu bisa masuk ke dalam partai, tapi jangan harap Ayah akan membantu kamu. Di sana ada Alvin, dia sudah banyak dukungan. Jangan terlalu banyak berharap di sana, dan jangan sampai mencemarkan nama baik partai."

Sudut bibir Aether terangkat. "Oke."

Baron mengalihkan tatapannya ke Julia. "Aku kelepasan tadi, tapi aku tidak akan minta maaf karena yang memulai terlebih dahulu adalah kamu! Kali ini kamu aku lepaskan, tidak ada lain kali di masa depan."

Julia tidak peduli. 

Baron pergi meninggalkan kamar Julia, melewati kedua pelayan Aether yang langsung menyingkir.

Aether segera mendudukan Julia dan mengeluarkan perintah ke pelayan Julia. "Berikan aku obat."

Pelayan Julia dengan sigap mengambil kotak obat lalu menyerahkannya ke Aether.

Julia masih menatap lurus Aether. "Kamu sudah melihat apa yang Ibu lakukan di televisi?"

"Ya."

"Setelah ini kamu akan mendapatkan musuh karena ulah Ibu, apakah kamu tidak masalah?"

"Bukankah jauh lebih baik? Dengan begitu hidup tidak akan terlalu membosankan."

Julia merasakan perih ketika kapas menyentuh pipi, rupanya ada luka.

"Sepertinya kena cincin Ayah, dia tidak bisa dimaafkan." Kesal Aether. "Aku akan membalas semua perbuatannya, Ibu tidak perlu khawatir."

Julia tidak khawatir, karena tahu anaknya sudah kembali ke dalam pelukan. "Mhm."


KEMBALINYA PANGERAN MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang