DUA PULUH SATU

27 5 0
                                    

Aether menuang kembali minuman di gelas, lalu bicara ke Alvin. "Terkadang, dunia ini tidak adil bukan? Hanya aku yang dianggap menjadi anak emas, lalu kalian merasa dianak tirikan, yah- memang kalian berdua anak haram sih ya."

Alvin tersenyum sedih, menguatkan pendiriannya bahwa sang kakak saat ini memang dalam keadaan mabuk, terbukti dengan perkataannya yang mulai meracau, mau tidak mau dia harus meladeninya. "Ya, anak tidak bisa memilih dilahirkan oleh orang tua mana pun. Kakak, sebaiknya Kakak istirahat di kamar dan jangan minum kembali."

Aether menenggak habis gelas whiskey dalam sekali tegukan, lalu bicara ke Alvin. "Aku tidak bisa tidur, jangan paksa aku. Oh, ini mengingatkan aku tentang kamu- apakah saat ini kamu masuk dalam partai politik?"

"Ya," jawab Alvin.

"Partai mana?"

"Milik Ayah."

"Oh, jika aku masuk ke dalam partai- apakah boleh?"

Tubuh Alvin menegang ketika mendengar pertanyaan kakaknya. "Kakak ingin masuk partai politik? Bukankah Kakak pernah bilang kalau politik itu sangat membosankan dan tidak berguna?"

"Aku mengatakan itu?" tanya Aether.

"Ya."

"Oh, kalau begitu aku akan melupakan partai Ayah." Aether nyengir dengan tatapan bodoh.

Alvin semakin jijik melihat Aether. "Kakak, sebaiknya masuk ke dalam kamar. Aku akan memanggil pelayan Kakak."

"Tidak perlu, aku masih ingin di sini. Kamu masuklah ke dalam."

Alvin bangkit dan pamit ke Aether.

Sebelum Alvin menjauh, Aether menjauh. "Alvin."

Alvin menghela napas lalu balik badan. "Ya?"

"Kamu dan aku, siapa yang lebih pintar?" tanya Aether tanpa menatap Alvin.

Alvin menatap tidak percaya Aether. "Tentu saja itu Kakak."

"Aku?"

"Ya, Kakak lebih pintar dari aku dalam-"

"Dalam?"

Alvin hampir kelepasan bicara. "Dalam berpikir, Kakak lebih cerdas."

"Ah, begitu." Aether mengibaskan tangan untuk mengusir Alvin. "Aku mengerti sekarang."

Alvin segera pergi ke kamarnya supaya tidak diganggu Aether kembali. Rasanya sangat menyebalkan jika dipanggil untuk hal yang tidak berguna.

Aether menenggak kembali minumnya lalu dilempar ke layar televisi yang masih menyala. "Rasanya aku semakin kesal dengan mereka."

Dimas keluar dari persembunyian, melihat layar televisi yang masih utuh dan tidak pecah meskipun dilempar gelas oleh Aether. "Jika anda minum teh terus menerus di pagi hari ini, perut anda akan semakin kembung." Akhirnya dia paham alasan Aether menyuruhnya memasukan air teh ke dalam botol whiskey. 

"Aku ingin tidur di sini, kamu kembalilah ke kamar," kata Aether sambil merebahkan tubuhnya ke sofa. Dia hampir mengantuk saat menunggu Alvin pulang dan melihat reaksi adik pemilik tubuh ini. 

Dimas pergi ke kamar Aether dan mengambil selimut bulu yang hangat dari dalam lemari penyimpanan lalu kembali ke ruang tengah, melihat atasannya sudah tertidur. Dia segera menyelimuti pria itu, entah kenapa dirinya teringat dengan bos yang sudah meninggal, memiliki kebiasaan minum teh hangat jika tidak bisa tidur. 

Dimas melirik botol whiskey di atas meja lalu menukarnya dengan whiskey asli.

***

Aida menguap sambil menuruni tangga, rasanya melelahkan sekali dari kemarin karena harus mengerjakan semuanya sendirian. Tidak ada pelayan yang menemaninya karena hukuman dari Julia, rasanya sangat tidak adil. Bahkan sang Ayah menghukumnya, bukankah Ayah setuju untuk merekam semua tindakan Aether yang membahayakan? 

Aida menghentikan langkahnya ketika melihat Aether tertidur di sofa dengan punggung tangan menutupi kedua mata sementara tangan satunya lagi menutupi dada, lalu pandangannya beralih ke gelas yang sudah pecah di bawah rak televisi dan botol whiskey yang terbuka.

Aida menutup hidungnya dengan kesal. "Apakah dia tidak bisa minum di dalam kamar? Kenapa harus minum di sini?" tanyanya dengan geram.

Sebastian yang mendengar itu, segera menghampiri Aida. "Anda sudah bangun? Ada apa?"

"Pindahkan dia ke dalam kamar, kemana para pelayan yang tidak berguna? Kenapa meninggalkannya sendirian di tempai ini?" tanyanya dengan kesal.

Sebastian menjawab dengan santai. "Anda bukan pemilik rumah ini, kenapa ingin mengusir Tuan muda?"

"Apa?" tanya Aida dengan terkejut, lalu mulai teringat kalau kepala pelayannya sudah diganti. "Kamu-"

"Meskipun anda adalah anak Presiden, anda bukan keturunan Kailash. Nyonya besar sudah memerintahkan kami untuk membiarkan Tuan muda melakukan apa pun yang disukainya, kenapa anda jadi marah dengan beliau?"

Aida menjadi marah namun tidak bisa mengatakan apa pun, dia berlari menuju kamar ibunya. 

Sebastian hanya memperhatikan Aida yang sudah menjauh lalu menoleh ke Aether yang masih tertidur pulas di sofa ruang tengah, melirik pelayan yang berdiri tidak jauh dari sofa Aether. "Sudah berapa lama Tuan muda seperti ini?"

Pelayan menggelengkan kepalanya. "Tadi saya berganti dengan Dimas, jadi tidak tahu kenapa Tuan muda tertidur di sini, apa mungkin semalam mabuk di sini?"

Sebastian memang melihat botol whiskey yang terbuka dan diletakkan di tengah meja, namun karena pengalaman, dia tahu kalau Tuan muda kecilnya tidak minum sama sekali, aroma whiskey hanya keluar dari dalam botol tidak di mulut Tuan muda, lalu posisi botol ada di tengah meja, yang sulit dijangkau untuk orang duduk sekalipun.  Sepertinya Dimas dan Tuan muda melakukan sesuatu semalam.

"A- apakah saya harus membawa Tuan muda ke kamar?" tanya pelayan dengan takut. "Tubuh Tuan muda lebih besar dari saya, bagaimana saya bisa membawanya?"

Sebastian menghela napas panjang. "Biarkan Tuan muda tidur di sini sampai terbangun."

"Tapi-"

"Biarkan saja, tidak ada pesan dari Dimas, kan?"

Pelayan menganggukkan kepala. "Ya."

"Biarkan beliau tidur, dan jangan ada yang membangunkannya."

"Baik."

Sebastian pergi menuju kamar Julia untuk melapor.

***

Aida cemberut dan langsung pergi ke kamar Ibunya, dia melihat sang Ibu sudah duduk di depan ruang rias sambil memakai masker wajah. "Ibu-" rengeknya sambil tidur di atas tempat tidur. "Tidak bisakah kita mengganti kepala pelayan? Dia sudah bersikap kurang ajar terhadap aku."

Danti melirik anaknya melalui cermin. "Memang apa yang dia lakukan kepada kamu?"

"Dia bilang aku bukan pemilik rumah ini dan harusnya jangan mengganggu pemilik rumah, si pemabuk itu. Ibu, bukankah rumah ini sudah diserahkan untuk diurus oleh Ayah? Itu berarti aku dan Kakak juga pemilik rumah ini, karena anak Ayah. Kenapa malah kami disudutkan?"

"Tunggu, aku tidak mengerti. Bagaimana kamu bisa mengganggu Aether?"

"Dia tidur di ruang tengah dalam keadaan mabuk, aku menyuruh kepala pelayan untuk membawanya ke kamar, malah aku disindir jahat seperti itu, padahal aku berniat baik. Kenapa sih mereka harus bersikap sombong seperti itu?" keluh Aida.

"Aether tidur di ruang tengah?" tanya Danti dengan senyum kecil.

"Ya."

Danti memiliki ide. "Aida, sepertinya pagi ini kita akan sibuk."

"Apa?" tanya Aida yang tidak paham. "Sibuk apanya?"

Danti bangkit dari kursi lalu segera mengambil handphone di atas nakas. "Jangan banyak bicara, kita akan sibuk pagi ini dan ganti baju kamu yang rapi secepat mungkin. Ibu punya ide untuk membalas perbuatan kepala pelayan."

Ida menatap tidak mengerti Danti namun tetap melaksanakannya.

Danti segera menghubungi temannya yang akan berkunjung ke rumah, teman itu tidak mungkin bisa menolak undangan dari seorang istri Presiden.





KEMBALINYA PANGERAN MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang