TIGA PULUH

86 9 1
                                    

"Aku tidak tertarik pada politik, tapi aku juga bukan tipe orang yang suka bermain pahlawan. Aku hanya ingin melakukan hal yang disukai dan hidup santai," jawab Aether.

Dimas masih tidak paham dengan penjelasan Aether. "Maaf, saya tidak begitu paham dengan penjelasan Anda. Mungkin bisa diperjelas?"

"Intinya, aku hanya ingin hidup nyaman. Aku tidak ingin tinggal di negara yang penuh dengan sampah dan orang tidak berguna, duduk di tempat itu. Jika mereka bisa membunuh atasan kamu yang berharga, mereka pasti bisa membunuh orang-orang yang tidak dianggap berguna bagi mereka," ucap Aether sambil bersandar di sofa kamarnya. Ah, rasanya sangat menyenangkan menikmati kemewahan sekarang. Berbeda dengan kehidupannya yang dulu, harus susah payah bisa duduk di sofa semahal ini, bahkan bisa dibilang hampir kehilangan nyawa.

Bagi orang miskin, memiliki sofa empuk dan terlihat mahal, sangat tidak berguna, hanya menghabiskan uang. Tapi mereka tidak tahu, bagaimana nyamannya tempat duduk itu setelah melepas penat. Duduk di lantai yang kasar, kursi yang terbuat dari kayu, sangat tidak nyaman dan membuat frustasi dirinya. 

"Tuan Muda?" panggil Dimas.

Aether tersadar kembali. "Oh."

Dimas menunggu kelanjutan penjelasan Aether. 

Aether menjawab dengan tenang dan tegas. "Aku paham jika kamu tidak mengerti. Aku hanya tidak ingin dibebani oleh ambisi politik di masa depan. Kedepannya, aku hanya ingin fokus pada kebahagiaan sendiri, membaca buku salah satu contohnya."

Dimas mengerutkan kening. Masih berjuang untuk sepenuhnya memahami perspektif Aether. "Tapi bagaimana dengan keadaan negara kita? Tidakkah Anda merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi, sekarang Anda membuat langkah yang berani dan beda."

Aether menghela napas, sorot matanya bercampur antara tekad dan dan empati. "Aku peduli dengan kesejahteraan negara kita dan rakyat."

Aether berpikir secara realistis. Jika dirinya tidak peduli pada negara, mau jadi apa negara ini? Sementara keluarga Kailash yang dia tempati sekarang merupakan keluarga hebat, mau tidak mau dia harus peduli, untuk sekarang!

"Namun, aku percaya bahwa perubahan bisa datang dari berbagai arah, tidak hanya dari dalam sistem politik. Setiap orang memiliki bakat dan hasrat uniknya sendiri."

Dimas merenungkan kata-kata Aether, lambat laun mulai melihat kedalaman perspektifnya. Dia menyadari bahwa pendekatan Aether, bukanlah sikap apatis atau ketidaktahuan, melainkan pilihan yang disengaja untuk memprioritaskan kebahagiaan pribadi, sambil tetap berjuang untuk menjadi kekuatan demi kebaikan di dunia. 

Dimas mengangguk paham. Dia menyadari bahwa pendekatan Aether adalah merangkul individualitas, untuk menempa jalannya sendiri daripada menyesuaikan diri dengan ekspektasi masyarakat. "Saya mulai paham sekarang."

Aether tahu jalan pikiran Dimas sedikit menyimpang, namun dirinya tidak berniat memperbaiki penyimpangan itu. "Baguslah, jika kamu mengerti. Ini mengingatkan aku, besok aku harus ke tempat Selena dan Asher, menjelaskan tentang bullying yang mereka dapatkan."

"Anda ingin memperbaiki situasi yang mereka hadapi?" tanya Dimas dengan tatapan terkejut. 

Aether menaikkan salah satu alis. "Tidak, aku hanya ingin memberikan pelajaran untuk para pelaku bullying."

Kedua bahu Dimas merosot, tuannya memang memiliki jalan pemikiran yang tidak terduga.

***

"Menuntut para pelaku bullying?" tanya Selena dengan heran.

"Saat ini, banyak masyarakat Indonesia yang melakukan perundungan, jika tidak ada yang berkenan di hati di media sosial. Diperparah dengan minat membaca yang tidak ada lalu meremehkan sekolah, sehingga logika mereka tidak bisa jalan. Adapun orang-orang yang bisa menggunakan logika meskipun minat baca rendah dan tidak peduli pada sekolah. kebanyakan overproud." Aether menjelaskan sambil menikmati buburnya. 

Selena dan Asher memutuskan berkunjung ke rumah Julia, dan menginap beberapa hari ke depan. Mereka masih trauma dengan kasus sebelumnya, untung kedua anak mereka sudah pulih dari trauma, mereka terlihat asyik main bersama para pelayan di taman dengan diawasi orang tua dan kedua temannya yang duduk di meja bundar, menikmati pemandangan taman di pagi hari, sekaligus sarapan.

Julia mengingatkan Aether. "Hati-hati, banyak yang akan tersinggung."

"Tidak masalah, memang itu faktanya." Aether menjawab dengan santai. "Apa yang harus disembunyikan? Jika rakyat ingin Indonesia menjadi negara maju, harusnya mereka juga berubah seiring dengan perubahan zaman, bukannya terbelakang seperti sekarang ini, melakukan perundungan di media sosial hanya karena berbeda pendapat."

Asher menimbang perkataan Aether, masih ada lubang baginya. "Tapi, kamu melakukan pembunuhan di depan umum."

"Aku hanya membunuh seorang penjahat, memaafkan? Apa yang harus dimaafkan dari seorang pencuri dan pembunuh? Jika dia tidak melakukan hal bodoh dan nekat, mungkin saat ini sudah berkumpul bersama keluarganya," jawab Aether.

Julia mengangguk setuju, sorot matanya dipenuhi kekaguman atas komitmen teguh Aether untuk mengatakan kebenarany. "Kamu benar, Aether. Sudah saatnya kita menghadapi masalah ini secara langsung. Masyarakat tidak akan berubah, jika kita terus menyembunyikan kebenaran yang tidak menyenangkan ini. Tapi, masalahnya- siapa yang akan maju?"

"Banyak yang akan membela, di Indonesia tidak kekurangan penjilat dan numpang tenar. Tenang saja," ucap Aether.

Julia menatap tidak paham Aether. "Tapi, Sayang. Orang-orang seperti itu, tidak memiliki kualitas."

"Ibu, justru kita menginginkan orang tidak berkualitas di bawah sementara yang berkualitas di atas." Aether tersenyum menenangkan ke Julia. "Ibu pasti paham maksud aku."

Asher dan Selena tidak paham, hanya bisa menatap ibu dan anak, secara bergantian. Bagaimana bisa mereka memakai orang-orang tidak kompeten atau berkualitas? Bukankah hanya mencederai nama baik mereka?

Julia menatap lurus putranya lalu tersenyum, dia mulai memahami cara berpikir putranya yang licik. "Kamu ingin memanfaatkan situasi ini?"

"Situasi dan simpati, mudah bukan?"

Julia menaikkan salah satu alis. "Apa yang kamu butuhkan?"

"Ibu tahu dengan baik, apa yang aku butuhkan."

"Aku tidak tahu jika tidak dijelaskan, aku bukan wanita yang suka menebak, takutnya ada kesalahan."

Aether menghela napas ironi. "Yah, baiklah."

***

Alvin masuk ke dalam ruangan ayahnya dengan terburu-buru. "Ayah, kemana anak sialan itu?"

"Hati-hati kamu bicara, banyak orang bisa mendengar," kata Baron yang masih membaca dokumen di atas meja, tidak melihat Alvin sama sekali. "Dia baru ingat kalau ada janji lain, makanya dibatalkan untuk datang hari ini, setidaknya kamu bisa lega."

"Aku tidak pernah bisa lega, jika Ayah masih membiarkan dia. Selama ini aku sudah berjuang keras mendapatkan perhatian publik dan dia ingin menggantikan aku dengan cara mengancam Ayah?"

Baron mendongak lalu  melepas kacamata dan menatap sedih putra kesayangannya, hanya karena terlahir dari rahim seorang pelakor, Alvin harus mengalah dari perhatian publik dan membiarkan Aether mendapat perhatian. Dia ingin menebus semua itu. "Hanya untuk sementara, tidak selamanya. Kamu harus bisa mengalah dengan baik, karena kita membutuhkan dana yang cukup banyak dari Kailash. Jika kamu tidak suka, kenapa kamu tidak menjilat Julia saja? Siapa tahu, dia bisa memberikan uang untuk kamu."

"Ayah tahu, dia sangat membenci aku dan Aida! Melihat kami saja, dia tidak mau. Bagaimana caranya kami bisa mendekat?!" seru Alvin dengan kesal. Dia masih tidak rela membiarkan Aether masuk ke tempat kebanggaannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEMBALINYA PANGERAN MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang