DUA PULUH SEMBILAN

29 6 0
                                    

Julia sangat mengenal anaknya dengan baik, Aether memang puas melihat reaksi para pembencinya, bahkan politikus oposisi dan pembenci ayahnya, turut berkomentar.

Aether membalik halaman di ipad dan minum teh, duduk berhadapan dengan Baron. "Menurut Ayah, pembelaan yang dilakukan bangsawan Inggris, terlihat berguna atau semakin merendahkan aku?"

Baron tidak peduli dengan masalah Aether, selama ini selalu dibiarkan saja. Namun, ketika mengingat putranya melakukan hal luar biasa, dan bisa saja memperburuk namanya, dia tidak bisa tinggal diam. "Kenapa tidak bisa belajar dari Adik kamu? Dia sudah bekerja keras melakukan yang terbaik dan menunjukkan prestasinya."

Aether tertawa lalu meletakkan ipad di samping tempat duduknya. "Kenapa aku harus menjadi dia? Aku anak sah, dia hanya anak haram."

"AETHER!" bentak Baron.

"Apa? Aku disalahkan lagi?"

"Kamu membuat ulah dengan bunuh orang di depan umum!"

"Aku terpaksa melakukannya," jawab Aether dengan santai. "Jika aku tidak membunuhnya, dia akan membunuh anjing peliharaan seorang anak buta."

"Anjing bisa diganti dengan mudah! Nyawa orang tidak bisa diganti!"

"Memangnya selama ini Ayah peduli dengan nyawa orang lain? Anak sendiri bunuh diri perlahan-lahan dibiarkan begitu saja."

"Apa maksud kamu?" tanya Baron dengan kedua mata menyipit.

"Kenapa bertanya kepadaku? Bukankah Ayah sangat cerdas?" Aether tersenyum mengejek. "Jika memang Alvin jauh lebih berharga daripada aku, kenapa masih bertahan di rumah Kailash?"

Baron bangkit dari kursi lalu menunjuk Aether dengan marah. "Kamu tidak hanya anak kurang ajar, tapi juga tidak tahu untung. Kamu sudah merugikan nama baik yang sudah aku bangun puluhan tahun."

Aether mengangkat kedua bahu dengan santai. "Terserah."

"Sebaiknya aku biarkan kamu masuk penjara, supaya bisa merenungi semua kesalahan. Membunuh orang di depan umum merupakan kesalahan besar yang harus diperbaiki." Baron memperbaiki jasnya, lalu menatap putranya dengan tatapan intimidasi.

Sayangnya, Aether yang sekarang bukan Aether anak emas presiden, melainkan pria asing yang sudah terbiasa dengan kehidupan keras. Justru dia menganggap lucu tatapan sang presiden.

Baron mengerutkan kening ketika melihat putranya tertawa. "Apanya yang lucu?"

"Ini mengingatkan aku pada seorang Presiden yang selalu menjaga nama baik, tapi memanfaatkan seorang rakyat, salah satu contohnya geng... Balin?

Tubuh Baron menegang ketika mendengar nama Balin disebut. "Darimana kamu dengar kelompok itu?"

"Ah, jadi benar ya- kalau Ayah memanfaatkan kelompok itu? Sayang sekali ya, ketuanya sudah mati sekarang. Jika masih hidup, mungkin bisa menjadi teman bermain aku."

"Hentikan omong kosong kamu dan cepat minta maaf ke rakyat Indonesia, mereka membutuhkan klarifikasi dari kamu! Atau- kamu masuk ke dalam penjara, tenang saja- hanya status."

"Kalau aku mengambil pilihan kedua, kemungkinan besar istri dan anak-anak kesayangan akan mengambil kesempatan untuk menyebarkan berita, kalau aku memanfaatkan kekuasaan, dan seperti biasa, Ayah akan diam seribu bahasa."

"Kamu bicara apa, Aether? Bagaimana bisa Ayah melakukan hal kejam seperti itu?"

"Aku tidak akan minta maaf," ucap Aether secara tiba-tiba. "Aku tidak akan minta maaf kepada orang yang sudah menghancurkan hidup anaknya sendiri."

Baron hendak mengatakan sesuatu.

Aether bangkit lalu berdiri berhadapan dengan ayahnya, karena tubuh sang ayah kecil jadinya dia harus menundukkan kepala. "Buat apa aku minta maaf pada pria peselingkuh, penghancur rumah tangga, dan juga-" dia berbisik di telinga Baron. "Memanfaatkan seorang mafia untuk bisa mendapatkan nama baik di mata masyarakat Indonesia."

Tubuh Baron semakin menegang ketika mendengar ucapan Aether, darimana anaknya tahu mengenai hal itu?

"Aku tidak tahu apa yang kamu katakan."

Aether memperbaiki jas Baron lalu membersihkannya dari debu. "Terima kasih kembali, jangan lupa- aku akan selalu disisi Ayah, karena aku anak sah, bukan haram seperti Alvin. Jika Ayah ingin aku tahu tempat, maka anak emas Ayah yang sesungguhnya, juga harus tahu tempat."

Baron menatap marah Aether, napasnya memburu dan tangan mengepal, menahan diri untuk tidak memukul wajah yang mirip dengan istri sahnya.

Aether memiringkan kepala lalu mengambil ipad dan berjalan keluar dari ruangan dengan santai.

Ketika pintu ditutup, Aether bisa mendengar dengan jelas teriakan Baron.

***

Alvin yang mendengar berita dari Baron, melalui telepon, wajahnya memucat. "Apa? Ayah bilang apa?"

"Anak itu, ingin merebut tempat kamu yang sekarang!"

"Ayah, sekarang dia dicap sebagai pembunuh oleh masyarakat Indonesia. Bagaimana bisa Ayah memberikan tempat yang sudah aku capai bertahun-tahun lamanya?"

"Alvin, apa kamu sudah mulai lupa tempat?"

"AYAH!"

"JANGAN BENTAK AKU! AKU TAHU APA YANG HARUS DILAKUKAN!"

Alviin bertanya dengan nada curiga. "Dia juga akan mengambil alih proyekku?"

"Aku tidak tahu, tapi jika dilihat dari kelakuannya- dia akan mengambil alih semua yang kamu kerjakan sekarang!"

Alvin tertawa muram lalu duduk di sofa kamarnya, berusaha mengatur napas supaya tidak marah.

"Aku tahu, saat ini kamu marah. Tapi kita bisa berbuat apa? Dia mengancam aku."

Alvin memejamkan kedua mata, dia tahu yang diancam Aether adalah nama keluarga Kailash. Ayahnya masih membutuhkan nama itu, dia sendiri juga begitu, hanya saja sulit untuk mengakuinya. Ibu kandung tidak berguna sama sekali, sementara ibu Aether mendapatkan anak yang tidak berguna.

"Aku akan melakukan apapun supaya dia bisa mengembalikan posisi kamu, nanti juga dia akan bosan. Kamu harus mengalah, Alvin."

"Akan aku pikirkan."

"Tidak perlu kamu pikirkan, kamu harus menurut, supaya kita tidak mengalami kerugian besar." Tutup Baron, tanpa menunggu jawaban dari Alvin.

Alvin melempar handphone di atas tempat tidur lalu berteriak marah, berusaha meluapkan perasaan marah karena ulah Aether.

Di sisi lain, Aether yang mendapat laporan secara bersamaan dari pelayan muda, tertawa geli. "Mereka memang Ayah dan Anak, menggelikan sekali."

Dimas yang berdiri di belakang, mengerutkan kening. "Anda tidak sakit hati?"

"Untuk apa?" tanya Aether yang masih belum menyadari kesalahannya.

"Anda merupakan Anak Emas Presiden, kenapa Anda diam saja melihat Presiden sangat membela anaknya dari wanita lain? Seharusnya Anda merasa sakit hati."

Aether yang sedari tadi memainkan handphonenya, berhenti menggerakkan tangan lalu memaki di dalam hati, menyadari kesalahannya. 

"Tuan Muda?" panggil Dimas dengan hati-hati, takut Aether marah. "Maaf, saya hanya bertanya dan tidak bermaksud menyinggung. Anda bisa menghukum saya, tapi jangan terlalu berat, saya tidak mau digaji gratis."

Aether mencari alasan yang tepat dan cepat lalu teringat ulah Baron pada Julia. "Menurut kamu, sebagai seorang Anak- mana yang aku bela? Ibu yang bekerja keras demi keluarga, atau Ayah yang hanya peduli pada diri sendiri dan keluarga lain, tapi masih membutuhkan uang Ibuku?"

"Tentu saja, Ibu Anda."

"Nah, aku melakukan hal yang sama. Aku jauh lebih peduli pada Ibuku, daripada Ayah. Meskipun di masa lalu, aku sempat membuat kesalahan dengan membela pria itu- sekarang aku ingin memperbaiki segalanya."

Dimas terdiam dan mencerna perkataan Aether. "Anda benar, seharusnya saya tidak berkata seperti itu."

"Tentu saja." Aether kembali menggerakkan jari dan memainkan handphone dengan senyum lebar. 

"Tuan Muda."

"Hm?"

"Apakah sekarang Anda tertarik dengan politik dan berniat menggantikan posisi Ayah Anda?"

Aether menutup kedua mata berusaha menahan kekesalannya, dia yang salah memang karena membawa Dimas. 

KEMBALINYA PANGERAN MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang