"Dina, kamu tau gak alat pernafasan aku itu apa?" tanya Reihan di saat jam istirahat, kami hanya berdua dan duduk di atas rumput yang hijau.
"Paru paru" ujarku menebak pertanyaan yang diberikan oleh Reihan.
"Salah" ujarnya sambil tersenyum, aku suka senyumannya!.
"Jantung" ujarku menebak lagi. "Salah" ujar Reihan masih dengan senyumannnya.
"Apa dong? Masa usus kan gak lucu " ujarku sebal padanya karena jawaban yang kuberikan salah semua.
"Mau tau banget?" ujar Reihan menggodaku. Aku hanya memutarkan bola mataku.
"Yaudah buruan apa" ujarku penasaran."Alat pernafasanku itu kamu" ujarnya dengan pelan pelan dan pasti, masih dengan senyumannya. Aku hanya tersenyum malu, lalu menutup wajahku dengan kedua tanganku.
Reihan melepaskan kedua tanganku dengan sangat lembut. "Jangan ditutup, tujuan aku gombalin kamu adalah aku mau liat wajah merah kamu" ujar Reihan dengan sangat lembut.
Wajahku seperti udan sekarang, Ya Tuhan!
"Malu Rei" ujarku tak mau menatapnya, karena aku malu sedangkan Reihan menatapku dalam.
"Dina, tatap mata aku" ujarnya lalu menyentuh kedua tanganku. Aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Aku pun berhasil menatap matanya.
"Kamu Cantik, kamu cinta pertama aku. Jadi aku mohon sama kamu jangan tinggalin aku " ujarnya dengan mata berharap. Aku hanya bisa mengangguk lalu tersenyum. Karena tidak sepatah kata pun yang bisa aku keluarkan. Aku sangat senang!
"Din?"
"Hmm?" Reihan menarik tanganku untuk berdiri.Lalu ia tersenyum, dan memelukku. "Aku sayang kamu" ujarnya sambil terkekeh begitu juga denganku. "Aku juga cinta kamu" ujarku di sela Reihan memelukku.
Ya, seperti biasa. Aku memang hanya bisa mengenang mengenang dan mengenang tanpa bisa melalukannya kembali dan dengan orang yang sama.
Masih adakah seseorang yang seperti Reihan? Aku merindukannya. Kenapa dia harus pergi? Aku baru satu tahun berbahagia dengannya.
Dan setahun kemudian Reihan meninggalkanku bukan hanya aku tapi semua orang terdekat Reihan. Reihan meninggal tahun lalu.
Rencananya lusa aku akan pergi ke makam Reihan dan ayahku, setidaknya aku bisa lebih tenang dan rasa rinduku sedikit terobati.
Bagaimana aku bisa melupakannya bila foto foto Reihan masih terpampang di dinding kamarku, menjadi wallpaper screen lock di handphoneku.
Aku juga sering pergi ke rumah Reihan, masuk ke dalam kamarnya melihat foto fotoku yang berada di kamar Reihan dan Foto kami berdua.
Yang paling sering aku mengecek handphone milik Reihan yang sering ia pakai semasa hidupnya.
Aku merindukannya Tuhan! Aku ingin bertemu dengannya, bolehkan? Ini terlalu menyakitkan untukku.Aku tidak bisa melakukan apa apa selain mengenangnya, bagaimana aku bisa melupakannya bila niatku untuk melupakannya pun tidak ada sedikit pun.
Aku harus iklas, aku yakin dia sudah bertemu dengan ayahnya di surga sama.
Dia sepertiku tidak memiliki seorang ayah.
"semoga bahagia, Rei" hanya kalimat itu yang aku sebukan sebelum tidur, yang ku ingin selama ini hanya Reigan, Reihan, dan Reihan.
Mengapa kami harus disatukan, bila pada akhirnya kami akan dipisahkan kembali.
****
"Kak Nau" panggilku pelan pada Kak Nau yang sedang menonton Televisi di sebelahku.
"Kangen ayah" gumamku pelan. Kak Nau yang tadinya fokus menonton televisi spontan langsung menatapku pilu.
"Udahlah, gak usap difikirin kalo lo fikirin terus, ayah gak akan tenang di sana" ujarnya sambil merangkulku. Jujur aku jarang di rangkul olehnya seperi ini.
Aku hanya mengangguk dan menahan air mata yang ingin menembus kelopak mata.
Ya mungkin aku tidak usah memikirkan Ayah dan Reihan yang sudah bahagia di surga sana. Sedangkan di dunia banyak yang harus fikirkan. Pelajaran matematika yang sudah menanti selama tiga jam pelajaran.
Mabok mabok dah sana! Dijejelin rumus rumus sama Pak Darwin.
Love you Pak Darwin lain kali kalo ngasih rumus yang lebih banyak lagi ya, dengan senang hati kok nerimanya."Lo kenal Arnold?" tanya Kak Nau aku hanya memutarkan bola mataku "Gak kenal" ujarku sebal.
"Lah, terus?" tanya Kak Nau bingung. "Kak boleh oon tapi gak boleh oon oon amat. Ya kenalah kalo enggak secara gue di anterin pulang kemaren" ujarku sebal sambil terkekeh.
Setelah itu aku seperti teringat sesuatu. "Kak coklat lima mana?" tanyaku sambil menyodorkan telapak tangank pada kak Nau.
Kak Nau menepuk jidatnya lalu tersenyum alay. "Lupa hehe" ujarnya dengan wajah yang ah! Gak bisa di kasi tau lewat kata kata deh.
"Kan udah kemaren gua di suruh pulang gak di beliin coklat, gua gepengin beneran juga ntar lo, bodo beliin gue coklat 10 dapet bunga 2 kali lipat karena lo melanggar janji ujarku sambil tersenyum kemenangan lalu tertawa melihat sorot wajah kak Nau.
Jahat?
Biarin dia juga jahat sama aku! Baiknya kadang kadang dan kalo ada maunya doang. Kakak macam apa itu?****
"Clar, lo beneran suka sama Arnold?" tanyaku penasaran pada Clara. "Enggak lah gile lu, gue ujar punya Deri tercintah" ujarnya dengan mata penuh lope lope. Yakali!
"Alay lo, serius gua nyet" ujarku pada Clara.
"Enggak lho" ujarnya tegas. "Kenapa? Lo suka ya?" tanya Clara menggoda. Memang harus sabar bila mempunyai sahabat seperti dia.
"Ha? Emm. Engg.. Gak" ujarku terbata bata. Kenapa? Memang aku tidak suka padanya, yang aku suka hanya dia mirip seperti Reihan.
"Alah, boong" ujar Clara dengan senyum menggoda. "Gua suka sama dia hanya karena dia mirip masa lalu gue" ujarku pada Clara dengan sorot wajah sendu.
"Masa lalu lo? Siapa ceritain ke gue dong" ujar Clara penasaran.
"Tapi kalo gue nangis lo yang tanggung jawab beliin gue balon, coklat sama ice cream" ujarku sambil tersenyum."Iya iya udah buruan apa" ujar Clara penasaran. Ini kesempatan yang bagus buat aku mengerjainya.
"Kasih tai gak ya?" ujarku sambil tertawa. "Gak gue gak mau tai!" ucap Clara yang membuatku tertawa.
"Serius gak mau?" tanyaku menggoda. "Udahlah din cepetan pance juga lah lo in" ujar Clara dengan perasaan yang amat sangat penasaran.
"Tapi janji geh kalo gue nangis lo beliin gue balon, ice Cream sama coklat di kios coklat deket rumah gue" ujarku masih menggodanya.
"Iya setan, asli gua tempeleng ntar lo cepetanlah" ujarnya dengan sangat sebal dan penasaran.
"Jadi.."
Kriinggg..
Bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi."Anjir, pance geh lo" ucap Clara dengan sebal sendangkan aku hanya tertawa tidak bisa berhenti.
"Nanti di kios coklat deket rumah lo ceritain semuanya ke gue" ujar Clara tidak mau tau.
Aku hanya bisa tertawa "Iya monyet" ujarlu di sela tawaku.
Sedangkan Clara hanya memasang raut wajah sebal. Itu yang membuat tertawaku semakin besar sebelum pelajaran matematika tiga jam pelajaran dimulain. Tiga jam Pelajaran! Siap untuk dijejelin rumus!
****
Votte Coment, guys!

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee
Teen FictionKehidupannya seperti Coffee selalu pahit di setiap kenangannya, ditinggalkan oleh dua orang yang sangat ia cintai untuk selamanya. ketika semuanya kembali seperti sebuah benteng yang baru di bangun lalu di hancurkan. ** Apa aku gak berhak bahagia? ...