Tidak ada satu pun yang memulai pembicaraan ini, sibuk dengan fikiran masing masing.
"Din"
"Ar" ucap aku dan Arnold secara bersamaan." kamu dulu deh" ujarku mengalah padanya dibalik itu aku juga penasaran apa yang mau dibicarakan oleh Arnold.
" kita akan jadi saudara, kita boleh saling sayang, tapi gak lebih dari saudara" ujar Arnold dengan tatapan penuh arti, namun aku tak sanggup mengartikan itu semua.
" udahlah Ar relain aja, berat memang tapi apa salahnya kita belajar buat ngerelain seseorang? Biar mereka bahagia" ujarku pada Arnold dengan penuh pengertian.
" Biar mereka bahahia di atas penderitaan kita" gumam Arnold tapi sekecil apa pun gumaman Arnold aku masih bisa mendengarnya.
" Arnold please, lupain aku, aku juga mau lupain kamu demi kebahagiaan mereka, Jadi kita sama sama berjuang untuk melupakan satu sama lain" ujarku dengan senyum tulus setulus tulusnya ku berikan kepada Arnold.
Arnold's POV
" Arnold please, lupain aku, aku juga mau lupain kamu demi kebahagiaan mereka, Jadi kita sama sama berjuang untuk melupakan satu sama lain" ujar Dina dengan senyum manisnya yang selalu teringat di kepalaku.
Aku pun membalas senyuman itu dengan senyuman yang tidak kalah tulus dari senyumannya yang manis menurutku.
Aku memberanikan diri untuk menyentuh rambutnya lalu mengusapnya perlahan.
Dina, kamu tau gak? Aku sayang sama kamu tulus Din, tapi memang benar apa katamu takdir tidak mengizinkan kita untuk bersama.
Kenapa selalu aku yang mengalah untuk Kak Dewi? Aku sudah terlalu sering mengalah kepadanya, bukankah seharusnya kakak yang mengalah pada adiknya, kenapa harus adiknya yang mengalah?
****
Saat aku sedang bermain gitar sambil bernyanyi ada suara tangisan seseorang, segera aku mencari asal suara itu. Ternyata Kak Dewi yang sedang menangis dan menghabiskan satu pack tisu.
" napa lo?" tanyaku sedingin mungkin Kak Dewi hanya menatapku tajam lalu bangkit dan berdiri di hadapanku. " puas lo ha? puas?" tanya Kak Dewi membuatku mengerutkan dahiku. Kok aku? Tanyaku dalam hati.
" kok gua? Gila ya lo" ujarku dengan sinis. " lo seneng kan gue sama Naufal gak jadi tunangan? Gak di setujuin sama papa, gua yakin ini ulah lo. Secara lo kan anak kesayangan papa lo pasti ngadu ke papa. bocah!!" ujar Kak Dewi dengan emosinya dan memberikan tekanan nada suara di kalimat terakhirnya.
Batal?
Entah harus sedih atau senang?Kenapa dia menyalahkanku? Aku bertemu papa saja sangat jarang bagaimana mau menceritakan semuanya kepada papa? Wanita gila.
" sekarang gini aja. Kan lo yang sering di rumah, lo yang sering ketemu sama papa gua ketemu sama papa biasanya seminggu sekali!! Lo minta apa apa sama papa di kasih, sedangkan gua? Gua kerja dulu kak gua cari uang gua sendiri. Sekarang siapa yang bocah manja yang bisanya cuman minta uang papa ke club siapa? Sadar diri, intropeksi diri" ujarku penuh tekanan dam emosi tinggi, mengeluarkan semua isi hatiku.Plak!
Sebuah tamparan menghapiri pipi kananku. Aku tersenyum masam. " siaapa yang bocah? Hah siapa? Lo yang bocah, lo manja minta apa apa di turutin sama papa? Gua? Gak sama sekali. buku? Gua beli sendiri kak gak kayak lo. manja!" ujarku dengan emosi yang sangat meningkat. Ini pertengkaran serius pertamaku dengan Kak Dewi .
" Arnold Dewi!" suara seseorang membuatku langsung menoleh. Papa!
" ngapain kalian berantem?" tanya papa dengan wajah menahan amarah aku hanya menunduk." Arnold pa, dia duluan" Kak Dewi memfitnahku.
" sekarang siapa yang bocah? Siapa yang tukang ngadu?" tanyaku dengan santai dan senyum masam." Diam! Kenapa kalian bertengkar?" tanya Papa yang kini emosinya sudah meningkat drastis.
" Arnold kamu apain kakak kamu?" tanya Papa mengintrogasi padaku. Aku hanya mendengus, aku lagi! Kak Dewi di balik punggung papa tersnyum iblis. licik!
" terus pahh, terus belain dia terus aja pah, semenjak mama pergi aku memang berjuang sendiri gak kayak dia" ujarku sini.
Plak!
Lagi, aku di tampar dengan orang yang berbeda kali ini papa aku sangat marah." pah, papa selalu ngebelain Kak Dewi, papa gak pernah kan belain aku, aku minta uang buat beli peralatan gak papa kasih, sedangkan dia papa ngasih segalanya buat dia! Aku kalo mau sesuatu harus kerja dulu, pah cari uang sendiri dengan jeri payah aku sendiri. Tapi apa ? Papa gak pernah hargai aku, yang papa bela cuman dia! Aku merasa bukan sebagai anak disini pah" aku tersenyum masam lalu mengalihkan pandanganku, kulihat papa mematung beberapa saat. " Bela aja terus orang kayak dia!" ujarku dan menunjuk Kak Dewi lalu meninglkan mereka berdua.
" Arnold" ujar papa.
" bagus deh kalo papa masing inget nama saya, saya kira anda cuman ingat segalanya tentang dia" ujarku tanpa melihat raut wajah papa.Kejam? Memang biarlah, aku memang merasa bulan seperti anak disana, aku merasa seperti parasit yang tidak berguna yang selalu menguntungkan mereka.
Aku merasa tidak diperlakukan secara adil disini.
" Ar, please kamu harus ikut pertemuan papa sama mama baru kamu Ar. Hal ini untul terakhir kalinya" ujar papa penuh harapan.
Aku mengangkat kedua bahuku." please Ar" ujar papa dengan memohon lagi. " okey" aku menjawab dengan ogah ogahan. " kak dewi ikut?" tanya malas.
Papa mengangguk sedangkan aku mendengus. " maaf Ar, mungkin papa gak bisa jadi yang terbaik buat kamu, mungkin papa selalu membela Dewi dari pada kamu, kalau kamu merasa tidak adil, papa minta maaf Ar" ujar papa dengan tulus dan disertai senyum penyesalah.
" aku udah terbiasa sama semuanya" ujarku sedingin mungkin. Mataku kini mulai memanas, menahan air yang ingin lari dari kelopak mataku tetapi aku berusaha untuk menahannya.
****
Jangan lupa Vote ya!
01Juni2015
Ptrn

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee
Fiksi RemajaKehidupannya seperti Coffee selalu pahit di setiap kenangannya, ditinggalkan oleh dua orang yang sangat ia cintai untuk selamanya. ketika semuanya kembali seperti sebuah benteng yang baru di bangun lalu di hancurkan. ** Apa aku gak berhak bahagia? ...