11

2.2K 143 3
                                    

" Jadi gitu?" hanya itu tanggapan Arnold setelah aku menceritakan semuanya secara panjang lebar? Aku menyesal untuk menceritakan hal ini kepadanya.

" udah cuman itu tanggepan kamu? Mending gak usah cerita sekalian" ujarku sebal pada sikap dingin Arnold.
" permasalahan kita rumit. Harus mengalah salah satu di antara kita, kak dewi sama kak Nau atau hubungan kita? Tapi kita baru aja bahagia, Din" ujar Arnold dengan sorot wajah penuh keseriusan.

" emang" ujarku sebal.
" udahlah gak usah dipikirin kita juga gak tau nanti jodoh kita siapa, belum tentu aku jodoh kamu, begitu pun sebaliknya" ujarku cuek seperti menganggap persoalan ini persoalan yang mudah, padahal? Sangat rumit ini sudah menyangkut soal hati.

" tapi, aku serius jalanin hubungan sama kamu" ujar Arnold dengan sorot wajah keseriusan, aku mencoba menyelidiki matanya, yap! Dia serius aku hanya mengangguk mengerti.

" jadi gimana? Aku gak mau kehilangan kamu padahal aku baru dapetin kamu, aku sayang kamu" ucapan Arnold berhasil membuat kedua pipiku bersemu merah aku mencoba untuk menstabilkan perasaanku saat ini yang lagi kejang kejang.

"sekarang kita jalanin aja dulu, kita ikutin alur takdir kisah kita, kalo emang kita bahagia aku senang bahkan sangat senang kalau pun kita tidak di takdirkan untuk bersama aku merelakan kamu Ar, aku merelakan kamu untuk perempuan yang bisa membimbing kamu dengan sepenuh hatinya" ujarku dengan nada bicara yang labil dihadiahi tatapan tanpa ekspresi dari Arnold.

Tanpa aba aba Arnold memelukku di taman yang kami singgahi dari tadi.
"Ini yang buat aku sayang sama kamu kepribadian kamu tulus, apa adanya, please jangan rubah kepribadian itu-" sela beberapa saat " untuk aku, Dear" ujar Arnold penuh dengan pengertian kasih sayang.

Aku tersenuum disela Arnold memelukku.
Arnold merengangkan pelukan ini. " pulang yuk" ujar Arnold spontan aku langsung menggeleng cepat. "Kenapa? Hm? Gamau ketemu Kak Nau?" tanya Arnold penuh pengertian seraya mengusap rambutku.

Aku mengangguk pelan "aku males debat sama dia" ujarku sedingin mungkin bila sudah menyangkut Kak Nau. "kamu gak bisa kayak gini terus dong, Dear. Mau sampe kapan coba kayak gini sama Kak Nau?" tanya Arnold masih dengan senyum dan pengertian. Aku mengangkat bahu dan mengalihkan pandanganku.
"please sayang" ujar Arnold penuh harapan. Arnold jangan kayak gitu, please. Aku yakin siapa pun yang melihat Arnold dengan ekspreasi wajahnya seperti itu akan menuruti perintahmya, seperti ini contohnya.

" fine" ujarku putus asa. Arnold merangkul pundakku dengan senyum puas. " senyum dong, sayang" ujar Arnold aku hanya memutar bola mataku lalu memberikan senyum terpaksa pada Arnold.

" senyum terpaksa kamu mah" ujar Arnold melepaskan rangkulannya di pundakku, " Iya Arnold" ujarku dengan senyum aneh, senyum palsu.

****

" hemm, baru pulang dari mana aja lo masih pake seragam sekolah lagi lo, brandalan amat?" tanya Kak Nau dengan tatapan tajam dan sinisnya, rupanya dia mejeng di depan rumah, mungkin mau cari cabe yang keliaran jam segini.

" kenapa? Gak seneng lo? Hidup hidup gua! Bukan hidup lo!!" ujarku penuh penekanan dan emosiku meningkat pada saat itu itu juga.

" lo tuh anak kemaren sore jangan sok ngelawan gua deh!!" teriak Kak Nau penuh penekanan.

" udah teriak penuh penekanan lagi" aku menyindirnya lalu terkekeh pelan tanpa melihat sorot wajah Kak Nau.

" oww, rupanya lo udah berani sama gua? Hah?" tanya Kak Nau padaku aku hanya tersenyum masam.

PLAAKK!!

sebuah tamparan sangat keras menghampiri pipi kananku, terasa panas, perih dan sakit sekali. Tanpa memperdulikan Kak Nau Yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Mataku sudah tidak bisa melihat apa apa, semuanya buram, tetesan darah keluar dari mulutku, tamparan dari Kak Nau yang mendekati pipi dan mulutku membuatku terjatuh dan semuanya gelap.

****

Dengan perlahan aku membuka mataku yang kini masih memburam, aku di.. Aku masih di tempat tadi, di mana aku pingsan! Ku dengar deru suara mobil yang memasuki garasi mobil itu, itu mobil mama aku hafal deru mobil mama, ku lihat pada pandangat buramku mama mencoba untuk menghampiriku dengan wajah khwatir.

" ina, ina.. Heii kamu kenapa nak?" tanya mama khawatir.

Aku mencoba untuk berdiri dan menggapai mama, setelah menggapai dan memeluk mama, kesadaran ku kembali hilang di pelukan seorang mama yang merawat dan mendidikku meski aku jarang mendapatkan perhatian darinya.

" kamu apain adek kamu Fal?" tanya mama pada Kak Nau.
" cuma sedikit tamparan buat dia" ujar kak Nau acuh.

" otak kamu di mana Fal? Hah? Mama suruh kamu buat jagain Dina, bukan malah nampar dia Fal! Kamu liat dia! Liat! Dia gak berdaya Fal gara gara siapa? Gara gara kamu" isak tangis mama pecah.

" perempuan lemah" gumam Kak nau.
" kamu bilang dia lemah Fal? Dia seperti mama dia lemah, lemah di hadapan lelaki pengecut seperti kamu! Kamu yang lemah,beraninya kamu nampar adik kamu sendiri sampe Dina kayak gitu Fal!!!" ujar Mama penuh penekanan di sela isak tangisnya.

" tapi, dia yang salah Ma, dia ngerusak kebahagian aku" ujar Kak Nau membela dirinya sendiri.

" apa? Kebahagian? Kamu fal! Kamu yang ngerebut kebahagian dia, ayah dia salah satu kebagiaan Dina tapi apa? Kamu merebut kebahagian Dina dengan cara itu,kamu seharusnya sadar fal, jantung siapa yang ada di diri kamu? Jantung ayah fal, siapa ayah? Orang yang paling dekat sama Dina, kamu ambil fal. Dia salah apa sama kamu?" isak tangis mama semakin pecah.

Hanya itu yang aku dengar aku menangis dalam diam, jadi selama ini mereka membohongiku? Ayah, jantung ayah ada di dalam diri Kak Nau? Mengapa mereka tega? Dunia tidak adil untukku.

" ja.. dii" gumamku pelan di belakang Mama, mama langsung memelukku erat. " ambil kak, ambil kebahagiaan yang aku punya termasuk mama dan Arnold sekalian kalo kakak masih mau kebahagian kakak" ujarku terbata bata di sela isak tangsiku.

" lo yang salah Din! Lo yang ngerusak kebahagian gua! Lo udah tau gua mau tunangan sama Dewi lo pacaran sama Arnold!" ujar Kak Nau masih menyalahkanku.

"Apa kurang kebahagian itu untuk kakak? kalo itu mau kakak, dengan mudab aku lakuin ini kak, kakak bisa liat ini" segera aku melepaskan pelukan mama lalu ku ambil handphone dan dengan tangan yang bergetar aku menekan nomer telfon Arnold aku hanya isak tangis yang mengisi ruangan ini.

Pada saat itu pukul 03.00 pagi.

Lalu aku loudspeaker
Ada jawaban di sebrang sana, aku menarik nafas sebelum berbicara hal ini.

" Arnold kita putus" ujarku dengan satu nafas, tangisku sudah sangat menjadi saat itu. " taa... Tapi kenapa?" tanya Arnold dengan nada suara shock. " kamu tahu alasannya" langsung menutup telfonnya.

" kakak bisa liat? Puas kakak ngambil kebahagiaan ini dari aku" ujarku pada kak Nau yang sedari tadi mematung.

Aku masuk kamar. Memutupnya dengan suara sangat keras, lebih tepatnya membanting Pintu.

****

30Mei2015

CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang