14

2K 118 0
                                    

Dina's POV

"ayo, Dina astaga kamu ngapain apa deh di dalem kita udah di tunggu lho sama Om Hendriknya. Nanti kalo telat mama gak enak" ujar mama di luar kamarku.

Tanpa aba aba aku keluar dengan menggunakan drees putih di atas lutut dengan rambut panjangku yang ku gerai sampai punggung, wedges berwarna hitam dan dengan sedikit sentuhan make up sesuai dengan pesanan mama.

"kamu cantik Din" ujar mama sambil memandangiku dari bawah ke atas.

"bisa aja mama, ayo tadi mama suruh aku cepet" ujarku pada mama yang masih mematung memandangiku.
Mama mengangguk, lalu kami menuruni anak tangga dan menuju garasi mobil dimana Naufal sudah menunggu kami.

" cantik " gumam Naufal aku hanya tersenyum kecil " makasih" ujarku dengan nada sedingin mungkin. Naufal hanya mengangkat kedua bahunya.

****

" Maaf ya Hen, kami agak telat. Tuh anak anak di belakang" ujar mama.

Aku dan Naufal jalan beriringan. Walau kami seperti itu kami belum berdamai. Saat aku memasuki rumah Om Hendrik tunangan mama aku berjalan dengan santai.

Arnold?
Ngapain dia?

Aku menatap Arnold bingung, begitu juga denganku yang menatapnya seperti orang bodoh.

Kak dewi?
Apa Kak Dewi dan Arnold anak dari om Hendri?
Bakal ada perang dunia!

"Dina"
"Arnold"
"Naufal"
"Dewi" ujar aku, Arnold, Naufal, dan Kak Dewi secara bersamaan.

Dan seketika itu juga suasana menjadi tegang dan sangat canggung, aku duduk di hadapan Arnold, Naufal di hadapan Kak Dewi dan Mama di hadapan om Hendri.

"kalian sudah saling kenal?" tanya Om Hendri.
"Naufal pacar aku pah"
"Dina pacar aku" ujar mereka secara bergantian.

"Bukanya kalian putus?" tanya Naufal bingung. "Dina yang mutusin gua gak mau" ujar Arnold acuh dan di hadiahi tatapan tajam dari Kak Dewi.

"ini rumit" gumam Om Hendri pada mama, mama mengangguk setuju.

"mama gak nyangka Fal, kamu mau tunangan sama Dewi, tapi kamu bakal nyakitin adek kamu" ujar mama kecewa dengan nada suara yang lemah.

"oke gini aja biar adil, disini yang sudah resmi menjadi tunangan saya dan Mawar. Jadi saya ingin menengahi kalian agar adil, satu tersakiti tersakiti semua. Naya dan saya akan menikan bulan depan"

Deg!
Bulan Depan!

Aku, Arnold, kak Dewi dan Naufal memasang sorot wajah bingung, kecewa dan pasrah.

Arnold menarik tanganku "sebentar ya tante aku pinjem Dinanya sebentar, pah aku ke pergi bentar" ujar Arnold dengan senyumnya.

Aku hanya bisa mengikutinya karena tanganku di tarik kasar olehnya, dia sedang emosi sekarang.

Sampai pada akhirnya kami sampai di atap rumah Arnold. "ngapain?" tanyaku heran pada Arnold.

"mungkin minggu ini minggu terakhir kita untuk bisa mencintai sebagai pacar, dan setelahnya kita akan resmi menjadi saudara, Din" ujar Arnold dengan tulus.

"Please, Kamu mau ya temenin minggu terakhir kita sebagai pacar? Apa aku masih bisa manggil kamu 'sayang'?" tanya Arnold sambil mengenggam tanganku lembut.

"Ar, kamu boleh manggil aku Dear, tapi - "

"okee. Aku tau jawaban kamu, kalo kamu gak bisa melakukan hal itu. Kamu mau temani hari hariku seminggu penuh bersama kamu?" tanya Arnold mendekatkan tubuhnya ke tubuhku.

"Ya, kalo itu yang kamu mau, tapi maaf kalo kita memang gak bisa jadi sepasang kekasih lagi" ujarku tulus pada Arnold, berat untung melepaskannya.

Arnold memelukku selama beberapa menit, aku mencoba untuk merengangkan pelukan Arnold tapi hal itu sia sia "jangan lepas, sebentar aja" ujar Arnold lirih.

Setelahnya kami melanjutkan makan malam bersama keluarga Om Hendri, hanya aku, arnold, mama dan om Hendri yang asik dengan obrolan kami sedangkan Kak Dewi dan Naufal sibuk dengan fikirannya masing masing.

****

Pagi hari aku di bangunkan oleh suara gitar yang di petik.

"alunan denting suara hati mengulas kembali jejak yang tlah lalu untaian makna yang tercipta aku andikan di tempat terindah. Tuhan, kembalikan segalanya tentang dia seperti sedia kala. Izinkan aku tuk memeluknya mungkin tuk terakhir kali agar aku dapat merasakan cinta ini selamanya"
Suara merdu, siapa yang menyanyikannya di pagi hari gini saat aku melirik jam pukul 06.00 pengamen kurang kerjaan.

Aku berjalan menuju balkon, dengan mata terpejam aku berteriak. "Gak ada duit receh, adanya ceban. Ada kembaliannya gak? Ah lu ganggu aja"

Aku mendengar suara cekikikan, segera aku membuka mataku lalu melihat ke bawah ARNOLD! malu banget.

"ini aku bukan pengamen, ada ya pengamen ngasih kembalian" ujarnya sambil cekikikan.

"ish! Ngapain sih pagi pagi di sini? Ngantuk tau, pergi sana hush" ujarku setengah berteriak.

"Ck! Buruan mandi bau tau, aku tungguin di sini" ujar Arnold sambil cekikikan. Aku berjalan menuju kamar mandi.

"apa?" tanyaku pada Arnold setelah selesai membersihkan diri.
"gapapa" ujar Arnold santai, aku hanya memutarkan bola mataku lalu ikut duduk bersila di samping Arnold di atas rumput hijau halaman rumahku.

"kan nyebelin" ujarku pada Arnold.
Arnold menyandar di punggungku, begitu pun dengan aku, Arnold sesekali memetik gitar.

"Tuhan, kembalikan segalanya tentang dia seperti sedia kala Izinkan aku tul memeluknya mungkin tuk terakhir kali agar aku dapat merasakan cinta ini selamanya"

"bagus Ar" komenku pada suata Arnold lalu meletakan kepadaku di bahu Arnold dengan posisi kami seperti tadi.

"buat kamu Din" ujarnya dengan suara yang hangatnya menjalar hingga ke hati.
Saat Arnold berbicara aku merasakan ada getaran di punggung Arnold.

Aku hanya tersenyum.
"Boleh ya aku sering meluk kamu" ujar Arnold tanpa aku bisa lihat ekspresi wajahnya. "mesum!" ujarku sebal.

"kan peluk perpisahan, say Good Bye to masa indah kita yang akan kita tinggalkan dan berganti dengan lembaran baru sebagai kakak adik" ujar Arnold aku yakin dia pasti sedang tersenyum masam.

"tapi kan tetep gak boleh sering sering, kalo sesekali mah boleh" ujarku sambil cekikikan.

"sini, minjem gitarnya" ujarku tanpa merubah posisi kami, please aku rela seperti ini berhari hari asal bersamanya. Arnold!

"emang bisa?" tanya Arnold dengan nada suara menggoda lalu menyerahkan gitarnya yang sedari tadi ia genggam.

"meragukan kemampuan saya ya mas?" tanyaku dengan sinis yang ku buat buat. "kumat kan Dina kumat" ujar Arnold sambil mutarkan bola matanya.

Aku mulai memetik gitarnya dengan meletakkan tanganku pada kunci kunci gitar.

"ikut nyanyi ya Ar" ujarku pelan aku rasa dari balik punggunggku Arnold mengguk.

****

Sampe sini dulu deh, nanti di part selanjutnya part mereka berdua full. Makasih buat yang udah baca. Maaf kalo banyak typo.

Mksih
01Juni2015
Ptrn

CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang