Rasanya ingin sekali aku meninjunya sekarang. Membuatnya babak belur. Bahkan mungkin hingga sekarat dan menggantikan posisi gadis ini di sini, di atas brankar unit gawat darurat sebuah rumah sakit.
Gemuruh amarah itu semakin menjadi, bahkan ketika aku menemukannya di lobi hotel dalam keadaan yang sungguh membuat miris. Wajah pucat dipenuhi luka di dahi juga sekitar bibir. Rambutnya awut-awutan. Pakaiannya compang-camping dan robek sana-sini. Seketika membuatku geram. Segera aku ingin menghajar orang yang membuat Tabitha seperti ini. Siapa lagi kalau bukan Ivander pelakunya?
Semenjak kami berpisah di stasiun dua hari lalu, malamnya aku mulai kesusahan menghubunginya. Padahal sebelumnya, kami masih sempat berbalas pesan. Terakhir gadis itu mengabari bahwa dia sudah sampai di Gambir. Lalu setelahnya, tidak ada kabar apapun darinya. Hingga keesokan harinya, sebuah pesan masuk di gawaiku. Dari Yasmin yang menanyakan keberadaan Tabitha denganku. Perasaan gelisah semalaman itu terjawab sudah. Tabitha menghilang.
Sontak saja aku langsung meninggalkan rumah Papa untuk kembali ke ibukota tanpa memedulikan teriakan dan makian pria paruh baya itu. Masa bodoh. Aku tidak mau mendengar lagi semua ceramahnya. Atau permintaannya untuk menjauhi Tabitha yang dia tahu sebagai calon menantu Keluarga Aryasatya. Dia bilang aku membuatnya malu karena pertengkaran di restoran waktu itu. Cih, kapan aku tidak membuatnya malu?
"Pergilah dari sini! Entah kamu mau kembali ke New Zealand atau ikut kakekmu di Jepang sana. Terserah. Yang penting jauh-jauh dari gadis calon mantu Aryasatya itu." Begitulah perkataan yang dilontarkan papa sebelum aku pergi.
Mudah saja sebenarnya mencari keberadaan Tabitha. Menurut Yasmin, ada tetangga mereka yang melihat gadis itu sedikit dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil saat akan pulang ke rumah oleh seorang pria. Siapa lagi pria tersebut kalau bukan Ivander? Ponsel keduanya bahkan tidak aktif seperti sengaja untuk dimatikan.
Akan tetapi, yang membuatku kesulitan adalah bungkamnya seluruh anggota Keluarga Aryasatya mengenai keberadaan Ivander yang telah 'menculik' Tabitha. Padahal aku yakin mereka mengetahui keberadaan anaknya. Jika saja aku tidak ingat harus mengontrol emosiku, pastinya aku akan memukul mereka satu-satu agar mau bicara. Hingga Illana menghubungiku dan memberitahu di mana kakaknya menyekap Tabitha.
"Aku nggak tahu apa yang akan Kak Ivan lakukan ke Bitha. Jujur perasaanku nggak enak. Kami sekeluarga udah berusaha mencegah Kak Ivan, tapi sama dia cuma dianggap angin lalu. Satu-satunya yang aku pikir bisa menyelamatkan mereka berdua itu kamu, Run. Tolong cegah Kak Ivan melakukan hal-hal nekat." Panjang lebar Illana berbicara di sambungan telepon.
Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung meluncur ke hotel milik keluarga Aryasatya itu. Adu urat pun tidak dapat aku hindari saat di lobi dan menanyakan keberadaan Ivander pada karyawannya. Mereka bungkam tentu saja. Takut dipecat oleh atasannya.
Apakah mereka tidak tahu kalau bos mereka itu sedang melakukan hal kriminal? Aku hampir saja tidak bisa menahan amarah. Kalau saja Tabitha tidak muncul dalam keadaan yang menyedihkan, mungkin aku sudah membuat petugas resepsionis tersebut babak belur.
Maka berakhirlah tubuh mungil itu di sini. Dia masih tidak sadarkan diri. Dokter jaga yang memeriksanya mengatakan bahwa Tabitha kemungkinan syok dan kelelahan karena kurang tidur. Embusan napasnya terdengar halus dan teratur. Meski sesekali keningnya berkerut; menampilkan sebuah ekspresi ketakutan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Tabitha. Akan tetapi, hanya butuh kejelian untuk menerkanya.
Kulit leher dan sekitar selangkanya dipenuhi ruam kemerahan bekas cumbuan. Melihat penampilannya yang compang-camping saat aku menemukannya di beberapa saat lalu, membuatku bisa menebak dengan mudah. Rasanya dadaku bergemuruh dan dipenuhi oleh amarah. Sekali lagi aku mengepalkan tinju dan mengentakkannya di atas paha.

KAMU SEDANG MEMBACA
Whispering Wind (republished) [END]
RomanceAdakalanya seseorang hadir di kehidupan orang lain bagai angin-hanya sekadar lewat, tetapi meninggalkan jejak yang mampu memporak-porandakan hati. Selama sembilan tahun, Tabitha tidak pernah mampu melupakan sosok cinta pertamanya, Arun, meskipun kin...