Adrenalinku berpacu. Aku yang tidak pernah membolos sekolah—terpikir pun tidak pernah, hari ini harus mengalami sensasi itu untuk pertama kali. Aku yang selalu jadi anak baik-baik di sekolah dan jauh dari masalah, kini terpaksa menuruti permintaan konyol Arun untuk menemaninya bolos. Kalimatnya seakan sabda bagiku, membuatku terlihat bodoh dan tidak mampu menolak keinginannya.
Rasa bersalah menghinggapiku. Bagaimana kalau aku ketahuan, lalu ada yang melaporkan hal ini ke Mbah Putri? Beliau pasti akan langsung menghukumku karena kenakalan pertama yang kubuat di masa remajaku ini. Aku bahkan sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aksi bolos ini adalah yang pertama dan terakhir kali kulakukan.
"Kamu suka tempat yang seperti apa?" tanya Arun sambil berteriak agar suaranya tidak tenggelam di antara riuhnya jalanan dan terdengar olehku yang tengah duduk di belakang, membonceng motornya.
Ya. Saat ini aku tengah membonceng Arun. Aku sendiri tidak menyangka bahwa pagar di belakang sekolah ada celah untuk menyelinap. Lalu hal lain yang tidak aku duga adalah Arun yang menitipkan motornya di sebuah bengkel tidak jauh dari sekolah. Aku tidak tahu kenapa dia tidak membawa kendaraan jenis sport miliknya itu ke dalam sekolah, tapi malah menitipkannya di luar.
Mungkin agar lebih mudah jika dia ingin membolos seperti sekarang?
"Hei, kamu suka pantai atau gunung?" teriak Arun sekali lagi sebab aku yang masih terdiam, tidak menjawabnya.
Aku berpikir sejenak. "Aku suka tempat yang sejuk," jawabku sambil berteriak. Berharap dia mendengar apa yang kukatakan.
Jujur, baru pertama kali ini aku membonceng motor seorang laki-laki. Rasa gugup menyelimutiku. Aku menggenggam erat ujung jaketnya dari belakang.
"Pegangan yang erat!" perintah Arun seraya mengambil sebelah tanganku dan meletakkannya di pinggang. Dia sendiri kemudian menutup kaca helm full face yang dikenakannya dan lebih memperdalam tarikan gas.
Motor Arun pun melaju dengan kecepatan tinggi. Sedikit takut, aku mengeratkan cengkeramanku di pinggangnya. Memang aku tidak sampai memeluknya, tapi posisi seperti ini sudah mampu membuat jantungku berdebar tak karuan. Samar aku juga mencium wangi lemon dari tubuhnya. Ah, mimpi apa aku semalam?
Aku tidak tahu ke mana Arun akan membawaku pergi. Yang pasti, dia melajukan motornya ke arah pinggiran, menuju lereng yang terletak di sebelah selatan kota. Gunung berapi yang masih tertidur itu terlihat bertambah angkuh dengan kabut yang menyelimuti saat kami berusaha mendekatinya. Semakin jauh, jalanan yang dilalui semakin menyempit dan sepi dari lalu lintas. Udara di sekitar pun, aku rasakan bertambah sejuk. Terasa dingin di kulitku yang tak terlindungi.
Arun mulai membelokkan motornya pada sebuah tanjakan berkelok dengan jurang di sebelah sisinya. Deretan hutan pinus mulai tampak di pelupuk mataku. Berderet-deret seolah tak bertepi. Pemandangan hijau itu benar-benar menyegarkan mataku.
Dia membawaku berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan. Kembali Arun menitipkan motornya kepada ibu-ibu pemilik tempat itu. Tampak bahwa laki-laki tersebut sudah cukup akrab dengannya. Sebuah senyum tipis menyimpul pada kedua sudut bibirnya tatkala Arun berbasa-basi dengan menanyakan kabar, lalu berpamitan.
Arun tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya memberi isyarat padaku untuk mengikutinya masuk. Aku tahu, hutan pinus ini termasuk salah satu fasilitas wisata yang ada di sekitar sini. Semua orang bebas keluar-masuk tanpa membayar biaya retribusi. Wilayah ini juga termasuk dalam areal milik perusahaan hutan pemerintah.
Kakiku menjejak hutan lebih dalam. Sedikit ragu mengikuti Arun yang beberapa langkah di depan. Jujur, aku mulai waswas. Dia tidak akan melakukan hal-hal aneh padaku, kan?
![](https://img.wattpad.com/cover/145569402-288-k934532.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Whispering Wind (republished) [END]
RomanceAdakalanya seseorang hadir di kehidupan orang lain bagai angin-hanya sekadar lewat, tetapi meninggalkan jejak yang mampu memporak-porandakan hati. Selama sembilan tahun, Tabitha tidak pernah mampu melupakan sosok cinta pertamanya, Arun, meskipun kin...