17. Baby's Breath

87 14 14
                                    

Setelah seharian bekerja mendekorasi venue acara untuk besok, ini adalah kesempatan bagiku untuk melepaskan lelah. Kupejamkan mata sejenak. Menikmati embusan angin pantai yang membelai wajah dan memainkan anak-anak rambutku. Ombak-ombak kecil pun dengan lincah menerpa kaki telanjangku. Matahari masih cukup terik, meski waktu sudah merangkak sore, sedikit terasa membakar kulit.

Pantai bukanlah salah satu tempat favoritku. Mungkin, karena aku lahir dan dibesarkan di sebuah kota yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa dengan suhu udara yang selalu panas dan pengap. Membuatku lebih menyukai daerah berhawa sejuk. Berbanding terbalik dengan Kak Ivan.

Pria yang kini sedang menggandengku ini sangat suka berjalan di atas pasir dan mendengar debur ombak. Bahkan Kak Ivan juga berencana untuk bisa memiliki sebuah hunian pribadi di pinggir pantai yang berhadapan dengan laut lepas. Sesuatu yang aku yakin tidak sulit untuk dia wujudkan.

"Capek, Sayang?" tanya Kak Ivan membuatku kembali membuka mata.

Aku mempersembahkan seulas senyum tipis untuknya. Setidaknya aku harus bersikap baik, sebelum meminta maaf karena telah mengkhianatinya. Aku juga masih mencari waktu yang tepat untuk membicarakan perihal nasib hubungan kami itu. Namun, aku rasa tidak sekarang. Tempat ini terlalu indah untuk menjadi sebuah kenangan buruk.

"Sedikit," jawabku.

Tak disangka. Kak Ivan tiba-tiba saja merengkuh dan membenamkan kepalaku di dalam dekapannya, hingga aku bisa mendengar detak jantungnya samar. "Kamu pernah bilang suka kalau dipeluk gini pas lagi capek, kan?"

Hatiku seketika terenyuh. Seharusnya aku merasa beruntung karena dia telah memilihku sebagai pasangan hidupnya di antara banyaknya wanita, bukan? Itu yang berkali-kali aku katakan pada diriku sendiri sedari dulu. Pria tampan nan mapan, berkelakuan baik, humoris. Tidak ada yang kurang dari dirinya. Semua tampak sempurna. Namun, entah kenapa aku tidak bisa merasakan euforia seperti saat bersama Arun.

Aku mengutuk diriku sendiri karena diam-diam bersikap jahat. Sejak kapan aku terus-menerus membandingkan Kak Ivan dengan Arun?

"Senyum, dong, Sayang. Kok, diam aja? Kenapa?" bisik Kak Ivan seraya mengelus rambutku. Entah mengapa sikap Kak Ivan lebih agresif dari biasanya.

Aku menggeleng lemah. Dengan senyum sedikit dipaksa aku berkata, "cuma agak nggak enak badan aja, kok, Kak."

Cepat Kak Ivan melonggarkan pelukannya, lalu meraba keningku yang memang sedikit menghangat.

"Kecapekan, ya? Kamu, sih, nggak usah terlalu semangat kerja gitu."

"Aku nggak mau makan gaji buta, Kak." Aku berusaha menyingkirkan tangannya yang masih menempel di dahiku dengan gerakan sehalus mungkin; agar Kak Ivan tidak terlalu menyadari bahwa aku menolak sentuhannya. Namun, ternyata aku salah. Pria ini mengerutkan wajahnya terlihat kaget.

Kedua bibir Kak Ivan sudah terbuka, hendak mengucapkan sesuatu saat ponsel miliknya berdering. Dia melihat sekilas layarnya, kemudian pergi menjauh untuk menerima panggilan itu. Aku yang semula sudah tegang, kini bisa bernapas sedikit lega. Aku hampir mengira akan mendapatkan amukan dari Kak Ivan.

Aku putuskan untuk duduk meluruskan kaki di salah satu kursi malas yang cukup teduh di bawah naungan payung besar berwarna-warni. Kak Ivan sendiri terlihat sedang berbincang dengan seseorang di telepon beberapa meter dari tempatku duduk. Entah apa yang mereka bicarakan hingga membuat pria itu harus menerima panggilan jauh dariku.

Kuedarkan pandang kemudian. Mataku memindai sekeliling pantai. Mencari bayang orang lain yang selama beberapa pekan ini terus menghantui pikiranku. Dia di sana, masih di tepi laut. Riang meningkahi kakinya sendiri dengan debur ombak. Sebuah kamera DSLR pro masih tersampir di bahu kirinya. Sisa-sisa surai rambut yang dia kucir ikut menari bersama irama angin. Dia sedang bermain air pantai, persis seperti anak kecil. Aku hanya mengamatinya dari jauh dengan senyuman tipis. Sisi lain dari seorang Arun Pawana.

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang