"Woi!!! Arun lagi mukulin anak kelas sepuluh!!!"
Teriakan itu begitu menggema seantero koridor. Semua mata tertuju pada seorang siswa yang lari tergopoh-gopoh dari lantai atas menuju ke lantai bawah. Tak terkecuali, kami. Jennifer dan teman-temannya saling berpandangan dengan wajah bertanya-tanya.
"Nggak biasanya Arun mukulin orang di sekolah," kata Deana dan diangguki oleh kedua temannya yang lain.
"Pasti anak itu yang cari gara-gara sama Arun sampai emosinya meledak di sekolah," timpal Jennifer.
"Lihat, yuk." Kali ini Helga yang mengajak mereka untuk naik ke atas, ke kelas sepuluh tempat kejadian perkara.
Aku sedikit lega. Paling tidak mereka sudah menghentikan aksi mereka kepadaku. Biasanya mereka akan terus merundungku hingga merasa puas. Aku mengelus pipi kiriku yang terasa perih. Aku yakin, bekas tangan Jennifer akan tercetak di sini. Terpaksa aku harus berbohong lagi ke Mbah Putri nanti jika beliau bertanya soal bekas tamparan ini.
Koridor mendadak senyap. Para murid mungkin lebih tertarik dengan adegan perkelahian Arun di atas sana. Sedangkan aku? Aku lebih memilih untuk ke kantin dan menyetor donat ke ibu kantin, daripada menonton orang berkelahi. Aku benci dengan perkelahian.
Aku kembali melangkah menuju kantin yang tidak terlalu ramai. Meletakkan baki berisi donat di atas meja yang memang khusus menggelar jajanan.
"Mbak Bitha itu pipinya kenapa?" tanya Bu Rusmi, salah satu ibu kantin yang kutitipkan donat.
Aku meraba pipi kiriku. Pasti bekasnya sangat terlihat, bahkan Bu Rusmi bisa melihatnya dari jarak beberapa meter.
"Ah, nggak apa-apa, Bu," jawabku bohong. Aku tidak ingin membuat orang lain khawatir.
"Kelakuan Mbak Jenni, ya?" tanya Bu Rusmi kembali dengan wajah prihatin.
Aku hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan beliau. Sepertinya tidak ada yang perlu aku jawab. Hampir seluruh penghuni sekolah sudah tahu bahwa aku sering dirundung oleh geng Jennifer. Aku benar-benar terlihat menyedihkan.
"Titip seperti biasa ya, Bu," ucapku setelah menerima uang hasil penjualan kemarin dari Bu Rusmi.
"Yang sabar ya, Mbak?"
Aku mengangguk dan memberikan senyum tipis. Bertingkah seolah semua baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun mereka tidak pernah tahu bahwa setiap harinya aku selalu menangis diam-diam dan rasanya ingin menghilang saja.
"Makasih, Bu. Permisi," pamitku.
Setelah menghitung dan memasukkan uang hasil penjualan donat ke dalam saku, aku melangkah keluar kantin. Terbersit keinginanku untuk melihat apa yang terjadi tadi di kelas sepuluh. Arun yang berani memukuli seseorang di sekolah, bahkan seseorang itu adalah adik kelas yang baru sekitar tiga bulan menyandang status sebagai murid di sini.
Belum juga kakiku melangkah menuju tangga, Arun tiba-tiba muncul dari atas. Langkahnya besar-besar menuruni anak tangga. Rambutnya terlihat berantakan. Tangannya masih terkepal dengan buku-buku yang memerah. Rahangnya mengatup rapat seolah sedang menahan amarah.
Dia berhenti ketika melihatku di ujung anak tangga. Tatapannya dingin menusuk ke arahku. Tidak ada kata apapun yang meluncur dari mulutnya. Dia hanya melihatku dengan pandangan yang, entah. Aku sulit untuk mendeskripsikannya.
Sejurus kemudian, dia melanjutkan langkah melewatiku. Tiada sapa yang dia tunjukan untukku. Itu membuatku sedikit kecewa.
Hei, apa yang kamu harapkan, Tabitha? Berharap dia menyapamu dan bertanya "Apa kabar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Whispering Wind (republished) [END]
RomanceAdakalanya seseorang hadir di kehidupan orang lain bagai angin-hanya sekadar lewat, tetapi meninggalkan jejak yang mampu memporak-porandakan hati. Selama sembilan tahun, Tabitha tidak pernah mampu melupakan sosok cinta pertamanya, Arun, meskipun kin...