Warning 18+
Aku masih memandangi Arun nanar. Wajahnya kini tampak babak belur dengan warna keunguan yang menghiasinya. Kak Ivan benar-benar menghajarnya habis-habisan tanpa ada perlawanan sedikit pun dari Arun Pawana. Dia tampak pasrah saat Kak Ivan meninjunya berulang. Padahal aku seribu persen yakin laki-laki itu mampu membalasnya telak.
"Kenapa kamu nggak balas pukul?" tanyaku menahan isak kala mengoleskan obat ke luka-lukanya.
Arun meringis saat ujung jariku tanpa sengaja menyentuh luka robek di sudut bibirnya. Kondisi laki-laki ini begitu mengenaskan di mataku yang tidak pernah melihat adegan kekerasan secara langsung. Aku sudah menawarinya untuk pergi ke klinik, tetapi dia menolak dan memilih membeli sendiri obat di apotek dalam perjalanan pulang ke sini—apartemennya.
"Aku udah biasa dipukuli sejak kecil, Tha. Kamu nggak usah khawatir," jawab Arun sambil tersenyum. Dia terlihat santai seolah ini bukanlah sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Namun aku tetap menangkap kegetiran di suaranya.
"Kamu dipukuli kayak samsak masih bisa senyum-senyum?" ocehku pelan.
"Aku baik-baik aja, Tha. Aku bahkan pernah hampir mati karena dihajar oleh papaku," balasnya ringan tanpa beban.
Aku terkesiap. Kembali memandang ke dalam lensa mata berwarna hitam pekat itu. "Maafkan aku, Run. Gara-gara aku, kamu dipukuli Kak Ivan," ucapku penuh sesal.
Arun mempertahankan senyumannya. Kedua netranya menatapku begitu lembut dan lekat. Di raihnya pucuk kepalaku, lalu menepuknya perlahan. "Bukan salahmu. Aku justru senang ada kamu di sini. Terima kasih."
Aku tak bisa membendungnya lagi. Isak yang sedari tadi aku tahan kini tumpah. Antara bahagia dan sedih bercampur menjadi satu. Begitu menyesakkan di dada.
"Maaf, kalau aku cengeng dan suka nangis," ujarku seraya menyeka sebulir air mata yang sudah terlanjur jatuh.
"Manis," ucapnya. "Aku suka sisi kamu yang cengeng ini. Kelihatan menggemaskan."
Pipiku merona sebab bualan Arun. "Semua cowok sama saja, ya? Suka gombal," balasku cemberut.
Arun tidak menanggapinya. Dia malah menarikku dalam pelukannya. Aku menikmati momen ini. Ketika aku bisa menghidu dalam-dalam aroma maskulinnya yang membuat jantungku berdebar. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain bersama orang yang kita cintai, bukan?
"Ngomong-ngomong, kamu, kok, bisa datang, Run? Kak Ivan yang telepon?" tanyaku menuntaskan rasa penasaran yang sejak tadi berjejal di otakku; kenapa Arun tiba-tiba ada di sana padahal aku sama sekali tidak memberitahunya.
Masih dalam posisi berpelukan, Arun mengelus rambutku. "Ya. Pacarmu itu yang minta aku datang."
"Mantan," koreksiku cepat. "Pacarku sekarang, kan, kamu."
Arun terkekeh tanpa suara. Aku dapat merasakan dadanya naik turun. Dia tidak menjawab apa-apa. Hanya pelukannya yang terasa semakin erat membelit pinggangku.
Beberapa lama kami dalam posisi ini, tiba-tiba ponsel milik Arun berdering memenuhi ruangan apartemen tipe studio ini. Laki-laki itu pun melepaskan dekapannya, dan melihat sekilas layarnya. Wajahnya berubah tegang. Aku bahkan melihat Arun sempat menelan ludah. Aku sempat melirik nama yang tertera pada gawai tersebut. Ada tulisan 'Papa' di sana.
Aku ikut menegang. Kuraih tangan Arun yang berkeringat dingin. Napasnya pun mulai tidak teratur. Matanya menyiratkan sebuah ketakutan. Bisa jadi dia mengalami hal traumatis terhadap ayahnya. Bukankah Arun selalu bercerita jika Sang Ayah sering memukulnya?
"Ini sudah sore, Tha. Kamu nggak mau pulang?" tanya Arun dengan suara bergetar. Aku tahu dia sedang mengusirku secara halus.
Sebenarnya aku enggan meninggalkan Arun sendirian. Namun, pandangan mata yang mengiba itu seolah memohon kepadaku untuk pergi. Dia seperti tak ingin dilihat oleh orang lain saat berada pada titik kerapuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whispering Wind (republished) [END]
RomanceAdakalanya seseorang hadir di kehidupan orang lain bagai angin-hanya sekadar lewat, tetapi meninggalkan jejak yang mampu memporak-porandakan hati. Selama sembilan tahun, Tabitha tidak pernah mampu melupakan sosok cinta pertamanya, Arun, meskipun kin...