28. Forget Me Not

5 0 0
                                    

Dia ada di sini. Berdiri di ambang pintu Jasmine Florist yang tengah sibuk dengan banyaknya pesanan buket bunga menjelang Hari Ibu. Laki-laki itu tampak tak peduli sekitar. Dia hanya menatap lurus-lurus ke arahku dan memasang ekspresi dingin andalannya seperti biasa yang tak bisa kuterjemahkan apa. Entah dari mana dia tahu bahwa aku sudah keluar dari rumah sakit dua hari lalu dan saat ini berada di toko—kembali bekerja seperti biasa untuk bisa melupakan hal-hal menyakitkan yang baru saja terjadi padaku.

Aku benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ketika laki-laki itu perlahan mendekat. Apa aku harus memukulnya dengan seikat bunga dan mengusirnya keluar? Atau aku harus tersenyum seolah tidak pernah terjadi apa-apa? Satu hal yang aku tahu pasti, aku merasa sangat kecewa.

Bagaimana bisa dia datang kemari dengan ekspresi dingin itu? Bagaimana dia tidak merasa bersalah sama sekali atas semua kebohongannya? Aku sungguh merasa bahwa aku ini bodoh sekali. Bisa-bisanya aku mencintai seseorang yang bertanggung jawab atas semua perundungan yang aku alami selama masa sekolah. Aku membencinya.

"Tanganmu berdarah," desis Arun yang menyadarkanku bahwa tangan kiriku terluka. Tanpa sadar aku menggenggam terlalu erat mawar yang masih belum aku bersihkan durinya. Harusnya aku merasakan sakit, bukan? Namun, nyatanya hal itu sama sekali tidak terasa perih sedikit pun. Ada yang lebih terasa ngilu. Di dalam hati ini.

"Apa maumu sekarang?" tanyaku seraya menyembunyikan tanganku yang berdarah. Suaraku sedikit bergetar. Aku tahu, aku sedang menghimpun kekuatan untuk menghadapinya.

Arun tidak langsung menjawab. Pandangan matanya tiba-tiba berubah sedih kala menatapku. Akan tetapi, aku sama sekali tidak melihat penyesalan di sana. Dengan gerak lambat dia berusaha meraih tanganku, tapi aku sudah tidak sudi sama sekali disentuhnya. Tiba-tiba, aku merasa jijik dengan tangan itu. Jemari yang begitu hangat saat menggenggam tanganku. Namun, tangan itu pulalah yang menyebabkan penderitaanku.

"Aku tahu, aku tidak akan pernah berhak atas maafmu, Tha. Bencilah aku sepuasmu," ucap Arun dengan lirih. Dia menjeda kalimatnya untuk melihat reaksiku, tapi aku hanya bergeming. "Aku ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal."

Selamat tinggal? Apakah dia akan pergi? Aku merasakan dadaku nyaris terasa sesak.

Buru-buru aku menghalau perasaan kehilangan yang sejanak tadi menghampiriku. Apa peduliku jika dia benar-benar akan pergi? Bukankah seharusnya aku bersyukur bahwa kami tidak akan pernah bertemu lagi untuk mengulang takdir buruk kami?

Aku membencinya.

Kuingatkan diriku terus-menerus.

"Hanya itu?" tanyaku dengan nada ketus. "Kamu nggak mau menjelaskan sesuatu padaku?"

Arun bergeming. Ekspresi wajahnya sama sekali tidak berubah dan itu membuatku cukup muak.

"Jika kamu mau pergi, pergi saja. Aku nggak akan peduli lagi." Kugenggam lebih erat setangkai mawar di balik punggung. Tak menghiraukan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. "Aku cuma minta satu penjelasan saja, Run. Kenapa? Kenapa kamu membodohiku seperti ini? Katakan kenapa!!"

Aku tidak bisa lagi membendung emosi yang sedari tadi aku tahan. Aku bahkan berteriak saat bertanya kenapa. Air mata yang sudah aku tahan, akhirnya mengalir tanpa bisa dicegah. Aku tak acuh lagi pada sekitar yang mungkin tengah menatapku dengan iba.

Arun tertegun. Mungkin dia sedikit terkejut. Aku yang biasa tenang, ternyata mampu meledakkan emosi seperti ini. Aku menangis sesenggukan. Menangis sekencang yang aku bisa. Tidak peduli lagi bahwa aku akan terlihat seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan kesukaannya. Arun tampak membiarkanku menumpahkan segala perasaan negatifku.

"Katakan padaku, Arun. Kenapa?" pintaku setelah tangisku sedikit reda.

Arun menghela napasnya sebelum menjawab. "Baiklah. Mungkin aku memang harus menjelaskan sama kamu."

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang