Efek dari kejadian di hutan pinus waktu itu masih kurasakan hingga sekarang. Bagaimana aku yang selalu senyum-senyum sendiri kala mengingat saat Arun mengatakan aku cantik, atau aku yang terkadang melamun membayangkannya yang menggandeng tanganku ketika kami pulang dari sana.
Perasaan berbunga-bunga yang awalnya asing, kini mulai terbiasa aku rasakan. Bahkan, sekarang aku selalu bersemangat saat hendak berangkat ke sekolah, berbeda dengan dulu yang mana aku selalu merasa tertekan dan takut. Semua itu demi melihat dan bertemu dengan Arun. Meski sikapnya tetap dingin dan tak acuh ketika berpapasan denganku, tapi ada saat-saat di mana tatapan itu melembut saat mata kami tak sengaja bertemu.
Efek jatuh cinta itu ternyata luar biasa.
Seperti pagi ini, ketika aku hendak ke kantin seperti biasa untuk menyetor jualan bersama Illana yang berjalan di sebelahku. Aku melihat Arun yang datang dari arah berlawanan. Dia seperti biasa. Berjalan tanpa mengindahkan apa pun di sekitarnya.
Seketika aku mengulum senyumku sendiri. Jantungku berdebar, bahkan darahku rasanya juga berdesir saat dengan sengaja Arun berjalan melewatiku dan menyentuh pelan jemari tangan kiriku yang menggantung bebas. Seperti ada aliran listrik statis yang memberikan efek kejut ketika kulit kami bersentuhan.
Spontan aku mengangkat lengan kiriku dan meletakkannya di depan dada. Napasku mulai tersengal. Aku seperti terkena serangan jantung dadakan.
"Hai, kamu kenapa, Tha?" tanya Illana seraya menyenggol pinggangku dan menoleh ke belakang sekilas.
"Ah, nggak apa-apa, kok," jawabku sambil berusaha menstabilkan degup jantungku.
Illana memicingkan mata. "Kayaknya si Arun akhir-akhir ini lebih sering muncul di sekolah, ya? Dia habis mukulin anak kelas sepuluh di sekolah, harusnya dia di-DO atau minimal kena skorslah."
Apa Illana sedang bertanya soal Arun kepadaku? Dari nada bicaranya seolah sedang memancingku untuk mengatakan sesuatu yang kusembunyikan. Jujur saja, aku memang tidak bercerita tentang aku dan Arun ke Illana, sebab jika Illana tahu pasti dia akan jadi pihak paling tidak suka.
"Aku nggak tahu, Lan," jawabku jujur. Ya, aku memang tidak tahu kenapa. Apa karena aku atau karena hal lain. Entahlah.
Aku melanjutkan langkahku ke kantin yang sempat terhenti tadi. Illana mengikutiku dari belakang. Sepertinya dia belum puas dengan jawabanku.
"Yakin, Tha? Kemarin aku lihat kamu waktu mau bolos bareng dia." Kalimat Illana sukses membuatku tak berkutik. Aku menghentikan kembali langkahku yang tinggal dia langkah lagi mencapai kantin.
"Udah aku bilang, kan, Tha. Jangan dekat-dekat Arun. Dia bahaya!" kata Illana setengah berbisik.
"Aku—"
Belum sempat aku membela diri, tiba-tiba kurasakan baju seragamku ditarik paksa. Aku terkejut melihat Jennifer dengan tatapan marah mencengkeram bagian depan kemeja putihku.
"Wah, Si Nol Persen sekarang jadi Upik Abu yang mendamba pangeran rupanya," ejek Jennifer tepat di depan wajahku. Aku terpaksa sedikit mendongak sebab perbedaan tinggi antara aku dan dia.
"Ngapain kamu senyum-senyum sama Arun? Mentang-mentang dia pernah gendong kamu waktu itu, lalu kamu ganjen sama dia? Hah?! Jawab!"
Aku yakin bentakan Jennifer menggema seantero koridor. Beberapa pasang mata yang kebetulan lewat menatap kami dengan rasa penasaran. Kali ini Jennifer sendiri, mungkin karena hari masih pagi dan bel masuk baru akan berbunyi lima menit lagi, teman-temannya yang lain belum datang.
Illana yang melihatku langsung berusaha melepas cengkeraman Jennifer. "Lepasin nggak!"
Entah karena diselimuti emosi, Jennifer terlihat tidak peduli dengan Illana dan malah semakin mempererat genggamannya pada seragamku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whispering Wind (republished) [END]
RomansaAdakalanya seseorang hadir di kehidupan orang lain bagai angin-hanya sekadar lewat, tetapi meninggalkan jejak yang mampu memporak-porandakan hati. Selama sembilan tahun, Tabitha tidak pernah mampu melupakan sosok cinta pertamanya, Arun, meskipun kin...