(9)

33 8 0
                                    

.
.
.
.
.
.

Kep1er - Up

.
.
.
.
.
.

Happy reading💫






Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Di kamar Daisy, suasana yang dulu damai kini terganggu oleh ketegangan yang tidak terucap. Lampu kamar yang redup memancarkan cahaya lemah, menyoroti sudut-sudut ruangan dan menciptakan bayangan gelap yang bergetar di dinding, seperti perasaan-perasaan yang terpendam di hati mereka.

Daisy duduk di tepi tempat tidurnya, matanya menatap ke arah Cassandra yang berjongkok di pojokan. Teman terbaiknya itu tampak sangat berbeda. Rambut panjang Cassandra menutupi sebagian wajahnya, tapi masih jelas terlihat ekspresi sedih yang mendalam. Matanya, yang biasanya bersinar penuh keceriaan, kini tampak kosong. Sesekali Cassandra menyeka air mata yang mengalir di pipinya, tanpa kata-kata, tanpa suara.

Daisy tidak tahan lagi melihat sahabatnya dalam keadaan seperti ini. Ia menggeser duduknya, mencoba mendekat, lalu mengajukan pertanyaan yang mungkin bisa membukakan jalan keluar. "San, ini sebenarnya kenapa sih? Kok lo nangis?"

Cassandra hanya menunduk, tidak menjawab. Di sebelahnya, Jivan yang selama ini hanya diam akhirnya angkat bicara. "Dai, biar gue yang jelasin. Kasian Sandra, dia masih terlalu shock buat ngomong."

Daisy melirik Jivan, bingung, tapi memilih untuk menunggu. Suasana kamar yang tadinya hening kembali terasa berat. "Tapi gue nggak tahu semua kejadian, pas pulang sekolah tadi... Gue sama Hilary di parkiran," lanjut Jivan sambil menarik napas dalam-dalam. "Gue cuma tahu sepotong aja. Sandra mungkin yang lebih tahu, tapi ya lo bisa tanya nanti kalau dia udah siap."

Suara Jivan terdengar berat, seolah-olah ia pun merasakan beban yang sama. Daisy hanya bisa mengangguk, menerima kenyataan bahwa jawabannya belum akan datang.

Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya Cassandra mengangkat wajahnya. Dengan suara yang lemah, namun penuh tekad, ia berkata, "Gw nggak bisa terima lo diperlakukan kayak gitu, Dai. Lo harus jauhin dia."

Daisy menatap temannya dengan bingung. "Tapi lo ngomong soal siapa?"

"Dozello," jawab Cassandra pelan, suaranya bergetar.

Cassandra melanjutkan, meski air matanya belum kering. "Dia nggak boleh gituin lo terus, Dai. Lo harus jaga diri. Gw nggak mau lo terluka lebih dalam."

Daisy hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa Cassandra benar-benar peduli padanya. Tapi di balik semua itu, dia masih bingung. Apakah Dozello benar-benar melukai hatinya? Apakah dia terlalu lama mengabaikan perasaannya sendiri?

Setelah beberapa saat dalam keheningan, mereka berempat berkumpul di ruang tamu. Jivan dan Hilary yang awalnya tampak tenang kini bergabung dalam kehangatan pelukan kelompok mereka. Di sana, mereka saling menyentuh hati satu sama lain, memberikan dukungan yang diperlukan untuk melewati malam itu.

Untuk meredakan ketegangan, mereka memutuskan untuk menonton drama Korea bersama-sama. Setidaknya, dunia fiksi yang penuh romansa dan intrik di layar kaca itu bisa memberikan mereka pelarian dari masalah yang nyata. Tawa dan tangis di dalam cerita membuat mereka larut dalam suasana baru, sementara kesedihan mulai terangkat sedikit demi sedikit.

---

Pagi hari datang tanpa terasa. Setelah malam yang panjang, keempat sahabat itu bangun dengan perasaan yang campur aduk. Jivan dan Hilary memutuskan untuk menginap demi memberi dukungan lebih pada Daisy. Meski tidak banyak kata yang diucapkan, kehadiran mereka sudah lebih dari cukup untuk memperkuat ikatan di antara mereka.

𝕀 𝕃𝕆𝕍𝔼 𝕄𝕐 𝔼ℕ𝔼𝕄𝕐Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang