(10)

44 8 0
                                    

.
.
.
.
.
.

Twice - Talk That Talk

.
.
.
.
.
.

Happy reading💫



Daisy duduk di bangku taman belakang sekolah, mengusap air matanya yang terus mengalir. Hatinya terasa berat, seperti ada beban yang tak mampu ia tanggung seorang diri. Hari ini, semua terasa kacau. Pikirannya tak bisa fokus sejak tadi pagi, dan kejadian tadi membuatnya benar-benar meledak.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, membuat Daisy spontan menoleh. Riza, teman sesama anggota OSIS yang dikenal tenang, menghampirinya dengan ekspresi lembut.

"Hei, lo nggak apa-apa?" tanya Riza pelan.

Daisy menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Maaf ya, tadi mungkin gw terlalu cengeng. Pasti ganggu lo banget,” ucapnya dengan nada bersalah. Ia merasa malu telah menunjukkan sisi lemahnya di depan orang lain, apalagi di depan Riza, yang selalu terlihat begitu kuat dan tenang.

Riza tersenyum hangat, tatapannya menenangkan. "Nggak apa-apa, Dai. Kadang, kalau dipendam terus, malah bikin makin sakit. Lebih baik diungkapin, biar hati lega."

Daisy menunduk, merasa sedikit lebih baik mendengar kata-kata itu. Nasihat sederhana dari Riza ternyata mampu menenangkan pikirannya yang sejak tadi berkecamuk. "Makasih," jawabnya pelan.

Setelah beberapa saat hening, Daisy memberanikan diri bertanya, "Kok lo bisa di sini?"

Riza menghela napas, sedikit tersenyum sebelum menjawab. "Gw sering ke sini kalau lagi pengen tenang. Taman ini kayak tempat pelarian buat gw."

Daisy terdiam, ia tidak menyangka Riza, yang tampak selalu kuat, juga memiliki tempat pelarian. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Riza jelas punya masalahnya sendiri, dan Daisy merasa tidak pantas untuk mengorek lebih dalam.

“Ayo balik ke kelas. Udah nggak apa-apa kan?” ajak Riza sambil berdiri. Daisy mengangguk pelan, meski hatinya masih terasa berat. Mereka berjalan bersama menuju kelas, suasana taman yang tenang perlahan berganti dengan keramaian siswa yang masih sibuk di kelas.

Sesampainya di dalam kelas, suasana langsung berubah riuh. Cassandra, dengan cerewet, langsung menghampiri dengan ekspresi khawatir. "Lo darimana, Dai? Kok nggak nyusul ke kantin tadi? Terus kenapa lo, matanya sembab gitu? Lo diapa-apain sama si brengsek itu?"

Daisy tersentak. Cassandra memang selalu begitu, terlalu berlebihan dan cepat menyimpulkan. Sebelum Daisy sempat menjawab, Hilary, memotong dengan suara kesal, "Cerewet banget lo, San. Satu-satu kali nanyanya, kasian Daisy."

Daisy tersenyum lemah. "Udah-udah, jangan ribut. Maaf, tadi gw nggak ke kantin. Habis ngomong sama Zello, terus gw ke belakang sekolah buat nenangin diri."

Cassandra yang masih penasaran langsung menyela, "Terus lo ketemu Riza? Kok bisa?"

Daisy mengangguk. "Kebetulan dia juga lagi di sana. Katanya dia sering ke sana buat nyari ketenangan. Kayaknya dia punya masalah berat, tapi gw nggak berhak tanya lebih lanjut."

Mendengar penjelasan Daisy, ketiga sahabatnya saling bertukar pandang. Mereka tahu Daisy sedang tidak ingin diganggu lebih jauh, jadi mereka pun membiarkannya.

---

Waktu pun berjalan cepat. Ketika bel pulang sekolah berbunyi, siswa-siswa mulai bergegas meninggalkan kelas. Seperti biasa, suasana menjadi ramai dengan suara obrolan dan tawa siswa yang bersiap pulang. Namun, di antara keramaian itu, Dozello tampak berbeda.

𝕀 𝕃𝕆𝕍𝔼 𝕄𝕐 𝔼ℕ𝔼𝕄𝕐Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang