.
.
.
.
.
.
Stray Kids - Case 143.
.
.
.
.
.Happy reading💫
Langit sore yang perlahan berubah menjadi gelap menggambarkan suasana hati Daisy yang tak menentu saat ia berjalan menyusuri taman di dekat restoran tempat keluarganya baru saja selesai makan malam. Rasanya berat sekali baginya untuk menggerakkan kaki, seolah beban hari itu menahan setiap langkahnya. Udara sore yang biasanya menenangkan kini terasa penuh tekanan. Daun-daun pohon yang besar menjuntai di atas kepalanya, menciptakan bayangan lembut di jalur yang dilaluinya, tetapi keteduhan itu tidak mampu meredakan badai yang bergejolak di dalam hatinya.
Daisy berhenti sejenak di bawah pohon yang paling besar di taman itu. Tangan mungilnya menyeka air mata yang mulai mengalir lagi di pipinya, meski ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Napasnya terasa berat. Bunga-bunga bermekaran di sekitarnya, warna-warninya yang cerah terlihat begitu kontras dengan suasana hati Daisy yang suram. Sebuah bangku kayu kosong tampak di sudut matanya, seolah memanggilnya untuk duduk dan merenung.
Dengan lelah, Daisy menuruti ajakan bangku itu. Ia duduk perlahan, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam ketenangan yang semu. Angin lembut menyentuh wajahnya yang masih basah oleh sisa air mata, seolah mencoba menghapus jejak kesedihan yang menghantui hari itu. Namun, di balik keheningan taman, pikiran Daisy berantakan. Emosinya tak terkendali, dan rasa sakit di hatinya semakin dalam.
Dalam kesendirian itu, tangis Daisy yang sebelumnya pecah di keramaian restoran kini mereda, hanya menyisakan isak-isak pelan yang larut dalam suara gemericik air dari kolam yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk. Meski suasana di taman itu terasa menenangkan, perasaan di dalam dirinya tak kunjung membaik. Kepedihan masih menancap kuat, menyisakan luka yang belum mampu ia sembuhkan.
Lamunannya tiba-tiba terputus oleh suara langkah kaki yang lembut mendekat. Daisy mendongak perlahan, dan matanya bertemu dengan sosok yang sudah sangat familiar baginya. Riza, temannya sejak kecil, yang entah bagaimana selalu muncul di saat-saat Daisy merasa paling lemah. Ia datang lagi, tepat di saat Daisy membutuhkan seseorang, meskipun tanpa diminta. Dengan senyum hangat yang selalu berhasil memberikan sedikit rasa tenang, Riza duduk di samping Daisy tanpa berkata apa-apa.
Dia menyerahkan sebotol air mineral kepada Daisy, seolah tahu persis apa yang dibutuhkan saat itu. "Minum dulu, biar tenang," ucapnya pelan, penuh perhatian.
Daisy menerimanya tanpa banyak bicara, meneguk air tersebut perlahan. Rasa dingin air itu sedikit meredakan perih di tenggorokannya, yang terasa kering setelah tangis yang lama. "Makasih, Za," katanya, suaranya terdengar serak, masih menyisakan jejak emosi yang belum reda.
Riza tersenyum kecil. Matanya menatap Daisy dengan penuh perhatian, tidak memaksa, hanya menunggu jika Daisy bersedia berbicara. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bertanya dengan lembut, "Lo kenapa? Kelihatannya lo lagi punya masalah berat."
Daisy menunduk, mencoba menahan air matanya yang kembali menggenang. Sesaat, ia diam, lalu menarik napas panjang. "Gw dijodohin sama orang tua, Za," ucapnya, suaranya gemetar. "Mereka nggak bilang apa-apa dari awal. Gw baru tau tadi. Dan sekarang... gw bener-bener kecewa."
Riza terdiam sejenak, memproses apa yang baru saja didengarnya. Kata-kata Daisy terasa berat, dan ia bisa merasakan kepedihan yang disampaikan lewat suara serak itu. "Orang tua lo pasti punya alasan kenapa mereka mutusin kayak gitu," katanya akhirnya, dengan suara yang lembut tapi tegas. "Mereka mungkin nggak mau mengecewakan keluarga lain. Tapi gw yakin, mereka cuma mau yang terbaik buat lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕀 𝕃𝕆𝕍𝔼 𝕄𝕐 𝔼ℕ𝔼𝕄𝕐
Teen Fiction[END] Terdapat bahasa kasar‼️ "Dalam cerita yang memperlihatkan dinamika antara benci dan cinta, kita menyaksikan transformasi dari kekakuan menjadi kelembutan, dari kegelapan menjadi cahaya. Peristiwa mendalam menjadi pemicu perubahan dramatis, men...