happy reading!
***
Sepasang mata coklat legam terus bergerak gelisah melirik jarum jam yang terus berputar lambat. Detaknya terdengar nyaring memecah kesunyian malam. Sesekali mata sendunya memeriksa ke arah pintu, berharap seseorang yang ia tunggu sedari tadi datang dan memperlihatkan wajah lelahnya.
Ia menghela nafas entah sudah yang keberapa kali. Sorot matanya semakin pilu, menyimpan torehan luka yang terus basah. Kegundahan hatinya terbias jelas dalam bola matanya yang semakin mendung. Perasaan gelisah yang terus tersemat dalam hatinya membuat setetes air dari pelupuk matanya jatuh membasahi pipi.
Buliran bening di pipinya ia usap perlahan dengan punggung tangannya yang rapuh. Sepasang mata itu kembali melirik jam dinding yang terus berdetak dalam kehampaan yang mencekik jiwanya. Jam kini sudah menunjukkan pukul 01.15 dini hari. Dirinya tak bisa lelap sementara hatinya merasa risau. Ia terus menunggu suaminya pulang.
Shanina Alin Ankara, seorang wanita yang sudah terbiasa menunggu hingga larut malam, bahkan yang ia tunggu kadangkala tak kunjung pulang. Kadang, suaminya akan menampakkan diri saat fajar mulai menyingsing. Tanpa merasa bersalah, dan mungkin juga tak peduli ada yang menunggunya di rumah.
Shani sudah terbiasa dengan keadaan ini selama dua tahun penuh. Akan tetapi, hatinya masih saja terus merasakan sakit. Merasakan nestapa yang terus ia teguk setiap detiknya selama dua tahun.
Kehadirannya yang dianggap tak ada, kehadirannya yang tak pernah bersambut, kehadirannya yang hanya seperti boneka pajangan. Ia merasa tak berarti. Sudah biasa ia mereguk perih dalam kesepiannya. Sepi yang terus menggerogoti jiwanya. Air mata yang selalu menjadi teman dan menemani kekosongan hatinya.
Ia hanya perlu bertahan. Layaknya batu karang di lautan, yang tidak pernah goyah meski ribuan kali dihantam gelombang. Bukankah batu yang terus menerus ditetesi air akhirnya akan lunak juga? Seperti itulah harapannya.
Ia berharap suaminya akan melihat kehadirannya yang selama ini berada disampingnya. Sejujurnya ia lelah dianggap tak kasat mata seperti tak berharga. Namun ketulusan cinta yang ia anggap suci menguatkan hati dan tekadnya. Ia akan menunggu sampai suaminya menganggapnya ada.
Shani menatap pigura yang terpampang di ruang tamu untuk sedikit mengobati keresahannya. Dirinya dengan gaun pengantin putih tersenyum bahagia, sedangkan sesosok pria di sampingnya hanya menunjukkan ekspresi datar. Tak ada senyuman ataupun ekspresi lainnya.
Shani tak pernah bosan memperhatikan potret suami tampannya. Rambutnya yang hitam dengan bola mata hazel brown yang dimiliki suaminya terlihat begitu menawan dan memanjakan mata. Dulu ia mengagumi senyuman cerah suaminya, tapi senyumnya yang cerah mempesona itu seakan hilang ditelan awan mendung.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EGO: A Miracle
Fanfictionmy third shanchik story. no desc, just read it. ⚠️B x G⚠️ ⚠️SHANCHIK AREA⚠️ yg gasuka 🚷Dilarang Masuk!🚷