happy reading!
***
Chiko menunggu Shani diluar aula gedung. Ia melipat tangannya di dada sambil menyandarkan punggungnya ke permukaan tembok. Senyum cerahnya terbit tatkala ia melihat figur gadis di depan sana. Chiko melambaikan tangannya menunjukkan diri.
Shani berjalan gontai diikuti ketiga temannya yang menunjukkan kekaguman pada sosok pemuda tampan bermanik hazel di depan sana.
Senyum Chiko yang mengembang seketika lenyap. Wajahnya pucat pasi seperti kehilangan aliran darah. la tahu kedua teman Shani, Sisca dan Anin. Tapi satu sosok gadis dengan rambut sekelam malam yang tergerai itu membuatnya terkejut.
Gadis itu, bagaimana bisa kenal dan berteman dengan Shani? Di masa yang ia tahu dulu, mereka berdua hanya sekedar tahu dan tidak begitu kenal dengan baik.
Chiko terus berusaha menghindar agar tidak pernah bertemu dengan gadis itu. Chiko menghindari tempat-tempat atau kegiatan yang sekiranya bisa menghubungkannya dengan gadis itu. Akan tetapi, kenapa takdir buruk seolah tak ingin berhenti mengejarnya.
Gadis itu merasa terpana pada sosok pemuda yang memiliki senyum mentari, menghangatkan setiap hati yang melihatnya. Ia sudah penasaran dengan kakak tingkatnya ini sejak tak sengaja melihatnya saat orientasi studi. la merasa sedikit kecewa ketika tahu pemuda yang ia sukai sudah dekat dengan Shani. Beberapa saat lalu, ia tahu jika ternyata mereka tidak berkencan. Ia seakan memiliki harapan.
"Achi.. Achi!!" Shani mengguncang lengan Chiko. Shani merasa kesal karena sedari tadi Chiko tak mendengar sapaannya. Pria itu malah terpaku pada salah satu temannya. Rasa cemburu menyusup ke sudut hatinya.
Setelah Chiko berhasil menguasai pikirannya, barulah ia tersadar jika sudah mengabaikan sapaan Shani. la menjadi gugup.
Jangan sampe buat kesalahan. Ayo, lo harus bersikap normal, anggap nggak pernah terjadi apapun. Chiko bergumam pelan dalam hatinya.
"Iya Shan. Em, kamu belum makan kan? Ayo makan bareng, tadi aku nggak selera makan, jadi aku nunggu kamu disini." Chiko berusaha keras agar suaranya tidak bergetar. Bayangan buruk masa depannya melintas dalam benaknya. Memerangkapnya dalam ketakutan dan kecemasan.
Shani menangkap gelagat aneh dari Chiko. Apa dia salah tingkah karena terpesona dengan temannya? Begitulah pikiran buruk yang menari-nari dalam kepala Shani.
Anin menarik baju Shani meminta agar dikenalkan dengan Chiko.
"Achi sebelumnya kenalin, mereka temen-temen baru aku. Ini Sisca, dan dia Anin. Kalo ini-" Belum sempat Shani mengenalkan teman satunya lagi, temannya itu menyela sambil menjulurkan telapak tangannya ingin menjabat tangan Chiko.
"Viola. Nama aku Viola." Viola memamerkan senyum terbaiknya, siapa tahu Chiko terpikat. Chiko tak menerima jabatan tangan Viola. Tatapan menyelidik Shani membuat Chiko menyambut uluran tangan Viola, ia tak ingin Shani mencurigai sikap anehnya.
"C-Chiko." Chiko berusaha keras agar tak terdengar gugup.
Viola meremas tangan Chiko, membuat sang empu terkesiap dan melepas paksa tangannya. Chiko menggandeng tangan Shani. "Ayo jangan lama-lama. Mereka ikut?" Chiko berbisik pelan agar teman-teman Shani tidak mendengar.
"Kenapa nanya? Iya mereka ikut." Shani meremas tali tasnya. Shani berpikir Chiko sedang memastikan Viola akan ikut atau tidak. Mungkin Chiko benar-benar tertarik dengan Viola, overthinking Shani semakin menjadi-jadi.
"Kamu duluan aja, aku mau cuci muka dulu." Bahu Shani terasa lemas, membuat badannya loyo. Chiko mengira Shani sedang lelah karena setengah hari mengikuti diklat yang membosankan.
Viola menghampiri Chiko dan berdiri di sampingnya. "Kak, kebetulan aku udah laper. Kita duluan yuk, kita tunggu Shani di kantin aja. Gimana Nin, Sis? Aku udah laper banget."
Chiko benar-benar pusing sekarang. Hal yang paling ingin ia jauhi sekarang justru malah seolah menempel padanya.
"Yaudah lo duluan aja, kita mau nunggu Shani. Tolong ya kak, temen kita kayaknya udah kelaperan banget." Ujar Sisca.
Chiko menarik nafas, seandainya tidak ada kedua gadis ini pasti ia akan menolak mentah-mentah ajakan Viola. Dengan terpaksa ia harus menerima takdir buruk yang mengintainya.
Seberapa keras pun ia menghindari takdirnya, justru takdir itu mendatanginya. Mungkin Chiko memang ditakdirkan untuk mengenal Viola, tidak peduli usaha Chiko untuk menghindarinya. Yang harus terjadi, pasti akan terjadi.
"Oke." Ucap Chiko pada akhirnya.
.
Sekeluarnya Shani dari toilet, ia mencari keberadaan Viola. "Viola mana? Nggak ikut makan?"
"Dia udah duluan sama Kak Chiko." Sahut Anin.
Deg!
Jantung Shani seolah diremas puluhan tangan tak kasat mata. Rasanya sesak dan nyeri. Ia ingin meneteskan air mata, tapi ia tahan sebisa mungkin agar kedua temannya tak curiga dengan rasa cemburu yang bersarang di hatinya saat ini.
"Kalian susul mereka aja. Aku baru inget kalo ada acara keluarga. Jadi aku harus buru-buru pulang." Alasannya. Shani tidak ingin melihat Chiko berdekatan dengan Viola di hadapannya. Ia pasti tidak akan sanggup menahan isak tangisnya, jadi lebih baik ia tidak melihat mereka saat ini.
"Loh terus lo pulang sama siapa? Biasanya kan bareng sama Kak Chiko." Ujar Sisca kemudian.
"Aku bakal telpon Gasta buat minta anter. Udah sana jangan khawatirin aku." Shani mengibaskan tangan kanannya menyuruh mereka berdua untuk menyusul.
"Yaudah kita ke kantin ya." Anin dan Sisca berlalu dari hadapan Shani. Seketika air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia mengusapnya sebelum menganak sungai.
Betapa bodohnya aku. Udah tau Achi nggak punya perasaan istimewa sama aku, masih aja berharap dengan bodohnya. Terus apa arti kedekatan kita selama ini Achi?
Shani terus menunduk dengan lesu. Sesekali memukul dadanya dengan pelan karena rasanya sangat sesak di dalam sana. Seperti ada batu besar yang menindihnya.
***
tbc.
160423
![](https://img.wattpad.com/cover/337788826-288-k233915.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EGO: A Miracle
Fiksi Penggemarmy third shanchik story. no desc, just read it. ⚠️B x G⚠️ ⚠️SHANCHIK AREA⚠️ yg gasuka 🚷Dilarang Masuk!🚷