VII

1.4K 213 23
                                    

happy reading!

***

Hari silih berganti. Chiko seakan kehilangan gairah hidupnya. Ia hanya makan, minum, tidur layaknya robot yang diprogram untuk terus melakukan kegiatan yang sama setiap harinya.

Apollo dan Soraya merasa putus asa menyaksikan keterpurukan putranya. Apollo yang terus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari Shani juga tak kunjung membuahkan hasil. Shani dan keluarganya seolah hilang ditelan bumi. Semua media sosial Shani yang pernah terhubung dengannya tiba-tiba raib dan tak berguna.

Chiko mencoba bangkit, mencoba menjalani hidupnya kembali, mencoba aktivitas baru, mencoba mencari kesenangan layaknya duda lapuk yang sedang kesepian, tapi bayangan Shani selalu menghantuinya. Seberapa banyak air mata yang tumpah dikarenakan dirinya? Seberapa banyak rasa sakit yang ia tanamkan pada hati mantan istrinya? Ia menyematkan ribuan luka di hati wanita yang tanpa sadar ia cintai.

Bulan merangkak berganti bulan. Tahun berlari berganti tahun. Tapi ia masih sama, tak ada yang berubah. Chiko makin tertatih di jalan keputusasaan. Waktu seakan tak lagi mampu menyembuhkan kepedihan dan hatinya yang sudah mengeras dan mati rasa. la seperti tak tahu lagi bagaimana rasanya tertawa bahagia. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali dirinya tertawa lepas.

Shani selalu datang di setiap mimpi malamnya. Mengobati kekalutan hatinya, menyembuhkan kegundahan jiwanya. Walau hanya bersifat semu, tapi setidaknya dapat membuatnya sedikit bahagia bisa memandangi wajah Shani yang indah. Dalam mimpinya, wanita itu bersinar bagaikan purnama yang menerangi setiap sudut hatinya yang gulita.

Chiko sering terjaga di tengah malam. Setiap kali terjaga dadanya selalu terasa sesak. Menemukan kenyataan yang terlalu sulit untuk dihadapi.

Shani, apa kamu tidak hidup bahagia?
Apa kamu masih hidup menderita karena aku? Makanya Tuhan terus menimpakan hukuman padaku.

Rasanya ia tak ingin terbangun dalam mimpi indahnya. Karena hanya dalam mimpi lah Shani bisa kembali, dan hanya dalam mimpi lah ia bisa memiliki wanita itu lagi.

Kehidupan yang keras seakan tak mengijinkannya hidup dengan mudah. Takdir terus memaksanya untuk menjalani kehidupan yang pahit. Hatinya juga terus menelan sepi dan sesak.

***

Beberapa tahun kemudian..

Saat ini Chiko sedang dalam perjalanan bisnis sekaligus mengecek villa keluarganya. Ditengah perjalanan, ia tak sengaja bertemu seorang nenek tua yang sedang berjalan. Chiko memberhentikan mobilnya untuk menawarkan tumpangan dan diterima oleh nenek itu.

Benaknya sedikit bertanya-tanya. Bagaimana bisa nenek tua seperti ini melintasi jalanan sepi yang bahkan jarang dilewati kendaraan?

Setelah lama hening, dengan suara rentanya si nenek membuka obrolan dengan ujaran yang begitu pelan, hampir tak terdengar jelas. "Sepertinya kamu sedang tersiksa ya nak."

Chiko melirik sekilas ke arah si nenek dengan kening yang berkerut. "Apa maksud anda?"

"Apa kamu sedang merindukan seseorang dari masa lalumu?"

Bagaimana nenek ini bisa tahu? Chiko melirik lagi ke arah si nenek dengan waspada. "Nenek peramal atau apa? Tapi tebakan anda tepat, aku memang sedang tersiksa karena merindukan seseorang setiap malam." Chiko mencoba melempar tawa renyahnya.

Nenek itu hanya tersenyum samar. "Aku tahu bagaimana caranya mengatasi rasa bersalahmu." Chiko mengernyitkan dahinya. Apa sekarang nenek ini akan menasehatinya sama seperti orang-orang di sekitarnya yang selama ini terus mencoba menasehati dan menghiburnya? Itu membosankan.

Mereka tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya kehilangan, rasa bersalah, dan rindu bercampur menjadi satu membentuk lukisan abstrak yang hanya ia sendiri yang mampu memahaminya.

Diam-diam Chiko menelisik penampilan si nenek lebih detail. Nenek itu terlihat sudah keriput, rambutnya yang digelung hampir semuanya juga sudah memutih. Kerutan di dahi, pipi, juga tangannya nampak jelas. Badannya terlihat ringkih dan kurus layaknya orang kekurangan gizi. la memakai baju terusan panjang berwarna hitam. Di bahunya tersampir semacam kain panjang yang juga berwarna hitam pekat, sepekat jiwanya saat ini.

"Tolong turunkan aku di depan tikungan sana." Jari telunjuk nenek itu menuding ke arah jalan di depan.

Chiko menghentikan laju mobilnya.

"Ambillah ini. Aku yakin ini bisa mengurangi rasa bersalahmu pada dirinya. Jangan ragu nak." Nenek itu menyodorkan sebuah tali merah yang terlilit rapi membentuk bola. 🧶
Chiko mengambilnya dengan hati yang berdebar-debar. Nenek itu kemudian turun sambil memakai kain hitam yang tersampir di bahunya sebagai tudung kepalanya.

.

Di sebuah kamar villa tempat ia menginap, Chiko mengeluarkan tali merah yang diberikan nenek tua tadi.

Apakah dengan cara ini tuhan akan berhenti menghukumnya? Apakah setelah ia mati semua akan membaik dan lukanya akan sembuh seketika?

Benar, selama ini ia selalu memikirkan untuk mati secepatnya. la sebenarnya lelah menunggu ajal untuk menjemputnya. Hidupnya terasa hampa, tak ada lagi gairah yang ia rasakan untuk menjalani hidup. Selama ini ia hanya berpura-pura menjalani kehidupan bagaikan robot dengan remot kontrol.

Tanpa berpikir panjang ia mengaitkan tali itu ke atas atap dan mengikat tali itu hingga terjulur ke bawah membentuk kalung. Ia menaiki kursi, lalu mengalungkan tali itu di lehernya. la ingin sembuh dari rasa sakit. Dengan berani ia menendang kursi hingga jatuh terguling.

Kakinya bergerak kesana kemari mencari pijakan. Nafasnya semakin tercekat di kerongkongan. Ia mencoba meraup oksigen terakhir sebelum kesadarannya hilang. Pandangan matanya menggelap, tangan yang memegangi tali di sekitar lehernya melemas, kaki yang menerjang juga berhenti bergerak.

Shani, maafkan aku. Aku mencintaimu. Aku merindukanmu walau hanya sekedar bayanganmu saja.

***
end?

.
060423

gimana nih? udah end ges🫣 si chiko nya udah nyerah sama hidup huft. payah nih duda pirang🥺

THE EGO: A MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang