CHAPTER 10 : Pindahan

751 39 0
                                    

Happy Reading guys
°
°
°
°
°
°

 

   Hari ini aku sudah harus pergi ke rumah Radipta setelah menghabiskan satu hari di rumahku. Rasanya aku masih enggan untuk angkat kaki dari sini, meninggalkan ayah, ibu, juga kak Benua.

Mungkin bukan aku saja yang merasa seperti ini. Semua anak perempuan yang sudah menikah pun pasti merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan saat ini.

Aku mengurai pelukan ibu, menatapnya sendu. Sementara ibu terus tersenyum, bahkan kini tangannya menghapus air mataku yang sudah beberapa kali terjatuh.

"Jangan nangis terus, putri ibu gak cengeng seperti ini."

Aku yang mendengar ucapan ibu menggelengkan kepala kuat. Bagaimana tidak menangis? Aku sangat sedih. Aku tidak mau berpisah dengan mereka, aku tidak ingin meninggalkan rumah ini. Rumah yang menjadi saksi aku tumbuh dan berkembang, serta tempat dimana aku menghabiskan waktu luang.

"Sia gak mau pergi. Sia masih pengen tinggal di sini, sama ayah, ibu, dan kak Benua. Lagi pula kenapa sih Sia harus tinggal di rumah mas Dipta, kenapa gak dia aja yang tinggal di sini?" runtutku pada ibu.

Fake scenario. Aku memanggil Radipta dengan sebutan 'mas' itu benar-benar palsu. Geli sekali jika aku harus memanggil dia seperti itu.

"Sia, jangan bicara seperti itu. Sudah seharusnya anak perempuan ikut dengan suaminya." Ibu mengusap lembut pipiku, "dulu ibu juga sama, rasanya berat sekali meninggalkan keluarga. Tapi seiring berjalannya waktu, ibu mulai terbiasa."

Aku meraih tangan ibu. Kemudian membuka suara, "tapi sia gak akan terbiasa, bu. Sia takut kalau misalnya Sia nggak bisa jadi istri yang baik untuk mas Dipta."

"Ya kalau begitu konsepnya harus belajar, membiasakan diri, sia. Semua itu butuh proses, gak langsung jadi gitu aja. Lagi pula Radipta juga pasti bakal bantu kamu. Iya kan, Dipta?" tanya ibu pada Radipta.

Aku memperhatikan Radipta yang menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil menjawab pertanyaan ibu. Aku tidak yakin jika dia bisa membantuku, yang ada hanya bisa membuat darahku naik saja.

"Sudah sana gih pergi. Pasti ummi Kamila sudah menunggu kamu, katanya dia gak sabar ketemu menantunya." Kata ibu sembari tersenyum kecil.

"Gak, bu. Sia pengen tinggal di sini, Sia gak mau pergi ishh." Aku terus menolak.

Pokoknya aku tidak ingin pergi. Aku tidak ingin tinggal dengan Radipta.

"Hei gak boleh gitu. Lagi pula jarak rumah ayah dan rumahnya Radipta itu dekat, kamu bisa main kapan saja jika kamu mau." Balas ibu.

"Tap--"

"Asia, berhenti menangis dan cepat pergi."

Kalimatku terpotong oleh ucapan ayah.
Aku menatap ayah tak suka. Ayah benar-benar tidak ada simpatinya. Dia terlihat sangat anteng dari tadi, seolah merelakan diriku untuk sesegera mungkin menjauh darinya.

"Ayah gimana sih? Anaknya mau pergi juga gak ada sedih-sedihnya. Ayah emang gak takut jauh dari sia?" protesku pada ayah diiringi helaan napas gusar.

"Shutt, jangan bicara seperti itu. Pasti ayah kamu sedih kalau putri semata wayangnya ini pergi. Tetapi sesedih apapun dan seberat apapun kita harus melepaskan kamu. Sudah sana, keburu siang." Balas ibu, mengusap bahuku lembut.

Aku menoleh pada Radipta yang dibalas anggukan oleh lelaki itu. Aku terdiam sebelum akhirnya menganggukkan kepala.

Baiklah Asia, mari kita pergi.

HELLO RADIPTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang