EPILOG

739 127 63
                                    

👑 🦊 👑

👑 🦊 👑

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌸🌸🌸

Semilir angin musim semi menyapa Seokjin dari jendela kamar yang dibiarkan terbuka, langit biru cerah dengan deretan bunga sakura bermekaran di sepanjang jalan ibu kota. Hari yang baik, seharusnya, tapi tidak untuk Seokjin yang tengah buru-buru mengancingkan kemeja biru di bawah tatapan menilai anak perempuan, duduk di ranjang tidurnya sambil menopang dagu.

Hari ini dia terlambat bangun, tidak sempat bikin sarapan yang semalam sudah dipesan dan salah memilihkan seragam sekolah untuk gadis kecilnya. Sambil menyisir rambut yang sudah tumbuh melewati telinga dan leher pakai jari, Seokjin melirik anak perempuan di ranjangnya yang masih cemberut.

"Reeya masih marah? Ayah 'kan sudah minta maaf." Seokjin mengalihkan semua atensi pada Reeya, gadis kecilnya yang belum genap sembilan tahun dengan kepangan rambut tidak rapi. 

"Nanti sebelum berangkat sekolah, kita beli roti keju kacang kesukaanmu di toko paman Stephen. Boleh beli tiga, empat juga boleh."

Sekarang Seokjin membungkuk di depan Reeya yang buang muka, tapi dia bisa melihat senyum tipis di wajah anak itu.

"Pulang sekolah kita main ke rumah Taetae samchon, katanya Imo lagi masak sup jagung."

"Beneran?" Reeya berpaling secepat cahaya. "Boleh menginap tidak?"

"Boleh, satu minggu."

Reeya terperangah, biji matanya yang sewarna kenari membesar. Seokjin gemas sekali lalu mencium pipi putrinya, sambil memandangi pipi Reeya yang kemerahan Seokjin berkata.

"Berarti Ayah sudah dimaafkan belum, nih?"

"Hhmm...." Reeya menusuk-nusuk pipinya dengan telunjuk, ekpresinya sangat serius sampai Seokjin nyaris terbahak-bahak.

"Tapi besok Ayah tidak boleh telat bangun lagi, aku mau sarapan ubi panggang."

"Janji deh, ngak telat lagi."

Senyum Reeya lamat-lamat merekah, dia melingkarkan kedua lengannya di bahu Seokjin.

"Reeya sayang Ayah."

"Sayangnya berapa banyak?"

"Three thousand."

"Tapi ayah bukan Iron man."

Reeya terkekeh geli lalu menularkannya pada Seokjin sambil melerai pelukan, mereka masih melanjutkan tawa selama tiga puluh dua detik sampai ingat kalau mereka sudah terlambat.

"Astaga Ayah, kita terlambat!"

Sambil bergandengan mereka menuruni tangga lantai dua tergesa-gesa, menyambar tas sekolah Reeya di sofa depan, menenteng sepatu, lalu berlarian ke garasi mobil.

Blossom TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang