3

635 150 25
                                    


"Aku harap dia tidak hamil," kata suara berat di sambungan telepon. "Kapan hasil tesnya keluar, ini sudah lewat tiga minggu."

Pria tinggi dengan wajah tak dicukur tengah menyiapkan roti dan sosis bakar di dapurnya yang sempit itu berdecak kesal.

"Aku tidak tahu."

"Jangan berpikir menutupi hasil tesnya dariku."

"Terserah," kata Seokjin. "Bisakah kau membiarkan aku sarapan dengan tenang?"

"Sekedar mengingatkan, siapa tahu kau lupa dengan rencana kita dan berlagak jadi malaikat," ujar Jimin. "Kalau dia hamil, kau harus segera mengambil tindakan antisipasi."

Seokjin yang hendak melahap sosis bakar bergeming, dia menyesal karena menerima panggilan telepon dari Jimin sepagi ini. Selera makannya hilang sudah.

"Aku tahu apa yang harus kulakukan."

"Bagus. Tadinya aku sempat berpikir kau akan menolong gadis itu untuk membalasku juga Taehyung, tapi aku lupa kalau kita adalah keluarga. Terima kasih Jin, aku mengandalkanmu," tukas Jimin, lalu memutuskan sambungan.

Langkah Seokjin kentara tidak seimbang saat meninggalkan apartemen, melupakan sarapannya dan memilih memesan taksi. Dia tidak yakin bisa menyetir di bawah tekanan yang membebani.

Aku harap dia tidak hamil, kalimat Jimin kembali memenuhi gendang telinga, ketika supir taksi melaju kencang di jalanan kota yang ramai lancar. 

Seokjin terlihat seperti orang linglung saat sampai di rumah sakit, menyeberangi lobi, berjalan miring di sepanjang selasar.

Ini semua salahmu Seokjin. Semua kekacauan ini adalah ulahmu.

Dia tahu kalau Jimin tidak akan melepaskannya begitu saja, harga diri direktur utama Hokdae Corporation akan jadi taruhan bila kasus ini terbongkar. Belum lagi jika Seokjin memikirkan nama baik keluarga Raina, membuatnya semakin gelisah. Haruskah dia menghianati keluarga sendiri, hanya demi gadis asing yang tidak dia kenal?

"Selamat pagi, Dokter Jin."

Seokjin terdorong dari alam bawah sadar dan terkesiap mendapati diri sudah berada di depan ruang kerja, dia berhasil mengatur mimik wajah dan mengangguk singkat pada asisten perawat sebelum masuk ke ruangan.

Seokjin menjatuhkan diri di sofa depan meja. Sofa putih panjang yang biasa dipakai oleh para pasiennya, mengusap permukaan sofa sembari berpikir mengganti warna sofa menjadi ungu tanpa tahu alasannya.

Pintu ruangan terbuka. Asistennya—kurus, mungil, dengan rambut hitam panjang sebahu yang diikat di bawah tengkuk, memandangi Seokjin lekat dari cangkir kopi yang masih mengepul. Gadis itu berpikir Seokjin melupakan jadwal kerja dan datang terlalu pagi.

"Dokter Jin, tidak tidur lagi ya?"

"Semalaman menemani Sera di taman, mungkin sekitar jam setengah satu aku baru pulang. Ada banyak detail pasien-pasien baru yang belum dicek, aku tidak yakin tidur jam berapa."

"Sera selalu mimpi buruk, dia sering begadang supaya tidak terlelap. Ini kopinya." Andrea mengangsurkan cangkir kopi pada Seokjin.

"Terima kasih."

"Dokter, suka yulmu (sereal instan)?"

Seokjin mengangguk singkat sambil mengucek mata dan menguap.

"Bisa buat pengganti kopi dan lebih bagus juga untuk kesehatan." Saran Andrea, yang merasa konsumsi kopi Seokjin mulai berlebihan.

Seokjin menguap lagi, begitu lebar sampai terlihat menyakitkan ditengah-tengah menikmati kopi.

Blossom TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang