Sewaktu terjaga siang harinya, Sera langsung tahu dia tidak berada di tempat tidurnya sendiri. Ranjang ini terlalu nyaman, seprai dan selimut terlalu halus dan bau karbol menyengat ujung hidungnya.
Sera menghela tubuh ke posisi duduk, merintih, melihat jarum infus menekan nadi di punggung tangan kanannya. Sera menatap sekeliling kamar yang temboknya dicat hijau muda, sewarna dengan semua perabot dan hordeng tipis di depan jendela kaca yang dibiarkan terbuka.
Tidak ada seorang pun di sana, tapi Sera yakin kalau dia ada di rumah sakit.
Suara pintu yang dibuka mengejutkannya, meninggalkan setitik rasa mengancam barangkali akan menyakitinya sekali lagi. Seorang pria mengenakan jas putih muncul di muka pintu, dan seorang wanita berdiri di belakangnya.
Pada satu titik yang membeku tiba-tiba, Sera merasa insting mempertahankan diri mengusai otak dan otot tubuhnya. Bayangan kejadian malam sebelumnya berkelebat cepat dalam benak, menutup semua kesadaran yang baru saja dia dapatkan.
Dalam gerakan buru-buru Sera mencabut jarum infus, darah keluar lalu merembes di buku-bukunya. Dia turun dari ranjang, menjerit histeris, lalu menabrak dua orang tidak dikenal yang ingin menahannya.
Sera tidak peduli pada siapa dan apa yang akan terjadi setelah ini, yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya bisa kabur dengan cepat. Tabrakan pun tak terelakkan, Sera serta merta terpental, pria berjas berhasil menahan pinggangnya sementara yang wanita memegangi tangannya sambil setengah berteriak memintanya tenang.
Sera terus bergerak, membabi buta, pekik kesakitan memenuhi ruangan waktu kedua orang itu berhasil membantingnya ke ranjang.
"Aku butuh obat penenang. Cepat!" seru lelaki itu kepada perawat yang langsung menyiapkan suntikan dari obat bius yang dibawa. Pria itu menekan kedua tangan Sera yang dilipat di depan dada, dia tampak mulai kewalahan karena Sera terus meronta.
"Tenanglah—tenang, aku janji tidak akan meyakitimu," katanya sepelan mungkin.
Seketika Sera berhenti bergerak lalu mulai menangis, pria itu melonggarkan cengkramannya. Dia sempat mengerjab dan menggelengkan kepala, pasi, cara berdirinya tidak seimbang, lalu duduk di pinggiran ranjang sambil memijat pelipis.
Ketika dia berpikir Sera sudah tenang, saat itulah Sera menyambar vas bunga di atas nakas lalu menghantamkan ke kepalanya.
Pria itu sudah ambruk di lantai sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, perawat berpaling dari pekerjaannya, dia melihat Sera lalu terpaku pada pria yang tergeletak di lantai.
"Ya Tuhan, Dokter Jin!" pekiknya kemudian.
🍁🍁🍁
Seperti Sera, Seokjin pun tahu kalau selamanya dia akan mengingat lima belas jam terakhir ini sebagai rentang waktu yang mengubah hidup. Tidak tidur sepanjang malam, sebagian otak masih terendam sisa alkohol, mual, pening luar biasa. Sekarang dapat pukulan keras di kepala, dia bersyukur untuk ukuran pot bunga yang kecil.
Terhuyung-huyung Seokjin masuk lift, menuju ruang perawatan Taehyung di lantai sepuluh. Langkah pelan Seokjin terhenti, sewaktu melihat Jimin di ujung selasar.
"Belum pulang?" katanya, lalu mereka memutuskan untuk minum kopi di kafe rumah sakit.
"Aku bingung harus memulainya dari mana." Seokjin mengusap wajahnya berkali-kali, benar-benar frustasi. "Intinya semalam, Taehyung salah orang dan melakukan pelecehan seksual."
"A-apa? Mana mungkin." Jimin terperanjat, meski dia tahu ini bukan kali pertama Taehyung terlibat masalah.
Sejak masih di bangku sekolah Taehyung memang biang ribut meski tidak sampai mengganggu akademisnya. Bukan karena dia lahir dari keluarga kurang harmonis lalu sering berkelahi biar dapat perhatian, tapi karena Taehyung terlalu blak-blak-an dalam segala hal, sama sekali tidak pandai berbasa basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blossom Tears
FanfictionPesta lajang yang membawa bencana. -- Berawal dari rencana konyol Kim Seok Jin kepada sahabatnya Kim Tae Hyung, berakhir membawa malapetaka yang tidak berkesudahan. Menyebabkan satu korban tidak terduga. Dirundung rasa bersalah pada korban, Seokjin...