Bab 1 - Kenapa Tidak Pulang

103 11 10
                                    

Mati!

Hidup!

Gantung!
Lompat? Apakah harus melompat?

Bodoh, tidak dulu!

Manik-manik ikan berwarna biru memancarkan cahayanya di bawah terik matahari, menari-nari tersibak angin, menggantung di bawah langit-langit balkon. Di antara angin siang dan udara petang, langit sore ini masih terlihat indah sebab matahari masih sibuk mondar-mandir di balik awan. Seorang remaja laki-laki duduk di atas bangku kayu ia melamun jauh, masih memainkan duri-duri kaktus mini di atas meja dengan ujung telunjuknya, yang tanpa disadari membuat permukaan buku jarinya memerah.

Embusan napas terdengar berat, mata cokelat pudarnya terlihat memuram. Ia memejamkan mata sambil menekan permukaan tangan pada tubuh kaktus mini tersebut. Beberapa jenak ia menikmati embusan napasnya lalu dengan sekuat tenaga membanting pot berbahan plastik berbentuk mangkuk berwarna oranye cerah di tangannya ke lantai. Alhasil, tanaman kaktus mini di dalamnya terburai di lantai. Ia membuka mata, tampak beberapa duri halus menghiasi dermis telapak tangannya yang memerah.

Remaja laki-laki itu meninggalkan balkon, masuk kamar kemudian duduk di bangku depan meja belajar. Ia menyalakan PC, menyumpal kedua daun telinganya dengan headphone, meniup-niup mikrofon yang melintang dari pipi hingga ke sudut bibirnya. Ia menunduk bosan sambil menunggu, belum sempurna layar PC menyala, dering ponsel membangunkan kepalanya.

Remaja laki-laki itu beranjak dari tempatnya duduk, melangkahkan kaki dengan lunglai ke ranjang. Beberapa saat hanya diam memandang ke arah ponselnya yang tergeletak di sprei. Remaja laki-laki itu pun menjatuhkan tubuhnya ke atas sprei yang mana menindih benda pipih itu dan nyaris menelan suara deringnya yang gaduh.

"Aku pikir ganti nomor juga tidak akan merubah banyak hal dalam hidupku. Sial!" gumamnya dengan tatapan kosong ke arah langit-langit kamarnya yang bergambar awan putih di tengah langit biru. Ia terhanyut perasaan sepi, di balik mural langit-langit kamarnya, ia menjerit dalam hati; rasanya terlalu jauh menggapai singgasana si empunya semesta. Padahal ingin sudahi saja segalanya.

Ckk, memuakkan. Tiba-tiba, rasa gatal nan pedih membangunkan alam bawah sadarnya. Remaja laki-laki itu segera bangkit dan berlari ke kamar mandi yang letaknya di sebelah lemari pakaian. Beberapa jenak, ia mengamati telapak tangannya yang semakin memerah juga sedikit menimbulkan rasa nyut-nyutan.

"Oh, tangan berhargaku!" pekiknya sambil buru-buru membasuh tangan di bawah guyuran air keran. Ia menumpahkan sabun cair pada telapak tangan, lalu menggosoknya sekuat tenaga untuk menghilangkan sisa duri juga rasa gatal nan pedih yang menempel pada dermisnya.

"Gila! Apa yang aku lakukan?" gumamnya sambil komat-kamit meringsut pada buih-buih sabun di tangan. Walaupun demikian, matanya berbinar cemerlang. Ia kembali menggosok kedua telapak tangannya untuk beberapa saat, lalu lari kocar-kacir kembali ke ranjang saat ponselnya berbunyi lagi.

"Halo?" sapa remaja laki-laki itu dengan santun, ia meneguk ludahnya sambil sedikit menjauhkan layar ponselnya dari daun telinga. "Iya, Pa?" katanya masih serupa.

"Nasta Patri Jayagiri, kenapa lama sekali mengangkat panggilan dari Papa? Apakah seberat itu ponselmu? Seberat barbel seribu kilo?" ujar seorang pria di balik sambungan telepon. Suaranya yang gagah terkesan ngebas dengan sedikit sentuhan serak parau membuat remaja laki-laki itu meneguk ludah lagi.

"Maaf, Papa. Aku baru selesai membersihkan tubuh, baru pulang latihan," jawab remaja laki-laki itu dengan suara ramah. Lembut suaranya yang terdengar manis membuat pria itu berdeham. "Ada yang bisa aku bantu?"

[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang