Sepasang telapak tangan menengadah gemetaran. Sebuah sabuk kulit berwarna cokelat gelap berulang kali mendarat di atas dermisnya yang berangsur-angsur memerah. Tubuh kurus, tidak terlalu tinggi, dengan kulit putih pucat berdiri di bawah lampu dan membuat dirinya tampak semakin terlihat pucat dan kusut.
Muramnya senja membuat durja di depan mata terlihat menyeramkan. Dilurubi perasaan takut setengah mati membuat tubuh kurus itu semakin menggigil. Petang berangkat, membawa temaram padahal lampu menyala dengan terang benderang. Namun, dalam pandangan kecilnya hanya gelap tersisa. Setiap kali sabuk itu mendarat di atas dermis telapak tangannya, ia terpejam sambil meringis dan meratap pada Tuhan perihal rasa sakitnya. Sayang, tidak pernah ada yang membantu. Rasanya sakit sekali, air mata Nasta jatuh basahi pipinya.
“Mama bilang apa padamu, Ta?” bentak Miswari sambil mendaratkan cambuk sabuk kulit di tangannya pada telapak tangan Nasta yang hari ini genap berusia sepuluh tahun.
“Jangan main sampai sore, jangan terlambat pulang, jangan main kotor-kotoran nanti Papa marah,” jawab Nasta dengan suara parau. Kakinya bergetar hebat saat cambuk sabuk kulit itu mendarat di kakinya yang kotor penuh lumpur.
“Sebenarnya apa-apaan kamu ini? Apa yang kamu pikirkan, Ta?” maki Miswari sambil membersihkan wajah Nasta yang dipenuhi tepung dan telur dengan emosi.
“Ampun, Ma. Teman-teman Tata hanya merayakan ulang tahun Tata. Kami main di sawahnya Bos Entang,” jawab Nasta ketakutan.
“Kamu tau tidak, sejak kecil Mama itu selalu mendidikmu untuk melakukan hal yang baik. Apa Mama pernah mengajarkan kamu untuk berbuat seperti ini?” desak Miswari masih menggosok-gosok rambut Nasta yang dipenuhi tepung yang sesekali ia cengkram dengan kuat.
“Kakung, Eyang, Abang sama Ambu dulu mengajarkan Mama dan Papa tidak merayakan ulang tahun seperti ini. Terutama Mama, kakek juga nenekmu tidak pernah mentolerir Mama hal ini, betapa berdosanya kita buang-buang makanan. Kakek nenekmu selalu melarang Mama main dengan sembarangan orang karena imbasnya bisa begini!” Miswari melepaskan tangannya dari rambut Nasta.
“Mama itu segala tidak boleh sama kakek dan nenekmu, karena mereka yakin anak yang dijaga dengan baik akan menjadi orang dewasa yang baik, dan mereka tidak salah. Terasa oleh Mama, bagaimana Mama menjadi ibu untukmu, menjadi istri untuk bapakmu, Ta. Tetapi, apa sekarang, rasanya seperti gagal mendidikmu!” teriak Miswari membuat Nasta menangis takut.
“Maaf, Ma!”
“Mandi dan bersihkan dirimu sebelum Papa pulang!” Miswari berkacak pinggang membelakangi Nasta.
Belum sempat Nasta berjalan ke arah kamar mandi, Jagawana terlihat memasuki rumah. Jagawana seketika berjalan dengan ketus ke arah Nasta. Ia pun menampar Nasta. Jagawana menoleh ke arah Miswari.
“Kakang tanya saja pada Nasta apa yang terjadi. Saya lelah, saya merasa gagal mendidiknya!” kata Miswari sambil melengos pergi.
Jagawana menggusur tubuh Nasta ke kemar mandi, terasa seperti tidak peduli meski ia baru pulang dinas bahkan sepatu pun belum dilepasnya. Jagawana menyalakan keran air, ia menyiram seluruh tubuh Nasta dengan air. Bukan segayung atau dua gayung, dua ember sekaligus. Nasta mengaduh kedinginan juga ketakutan. Rasa terkejut membuat dadanya sakit bukan main.
“Apa ini, Ta? Perilaku apa ini?” tanya Jagawana terus mengguyut tubuh Nasta dengan air.
“Ampun Papa, ampun Papa! Nasta tidak tau kalau teman-teman mau merayakan hari jadi Tata!” jawab Nasta terbata-bata sambil menggigil.
“Kamu pikir kedua orang tuamu tidak mampu merayakan ulang tahun dengan lebih baik? Apa karena sepuluh tahun ini kami tidak merayakan ulang tahunmu, hasilnya begini?” Jagawana mencengkram kedua bahu sang anak. “Papa bisa rayakan ulang tahunmu setiap tahun. Tapi bukan itu esensi dari bertambahnya usia!”
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] A Letter from Nasta ✔ | [Selesai]
Teen FictionBeberapa bab unpublish untuk kepentingan terbit. Sedang dalam masa PRE-ORDER. Pemesanan bisa kamu akses di Instagram @cv_rexmedia. Pre-order dimulai dari 20 Juni sampai 5 Juli 2024. Salah satu dari 3 Novel Nulis Maraton Rex Publishing 2023 bertema "...